Tampilkan postingan dengan label Sintaksis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sintaksis. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Desember 2025

Isu-Isu Kontemporer dalam Sintaksis: Menjelajahi Teori Minimalis dan Masa Depan Studi Gramatikal

Oleh: Tim Pusat Referensi Linguistik

13.1. Isu-Isu Kontemporer dalam Sintaksis

Lanskap studi sintaksis modern telah mengalami transformasi signifikan sejak kemunculan kerangka generatif. Saat ini, bidang ini tidak hanya berkutat pada deskripsi struktur kalimat, tetapi telah merambah ke pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang sifat dasar kemampuan berbahasa manusia. Isu-isu kontemporer dalam sintaksis berkisar pada upaya untuk memahami hakekat fakultas bahasa—sistem kognitif yang diduga bawaan (innate) yang memungkinkan akuisisi dan penggunaan bahasa (Chomsky, 1995). Pergeseran ini ditandai dengan transisi dari model-model yang kaya aturan dan representasi, seperti Government and Binding Theory, menuju kerangka yang lebih sederhana dan elegan, yaitu Teori Minimalis (Minimalist Program). Program minimalis tidak hanya mendominasi wacana sintaksis teoritis tetapi juga memicu debat yang produktif mengenai batas-batas antara sintaksis dengan modul kognitif lainnya, seperti semantik, fonologi, dan sistem sensorimotor.

Isu-isu utama yang dihadapi sintaksis kontemporer meliputi: (1) Tingkat abstraksi mana yang diperlukan untuk menjelaskan fakta linguistik? (2) Sejauh mana properti sintaksis dapat dijelaskan oleh prinsip-prinsip komputasi yang efisien yang bukan khusus untuk bahasa (prinsip-prinsip eksternal)? dan (3) Bagaimana sintaksis berinteraksi secara tepat waktu (online) dengan sistem performansi lainnya selama produksi dan pemahaman ujaran? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadikan sintaksis kontemporer sebagai bidang yang dinamis, yang terus-menerus menyempurnakan model-modelnya berdasarkan bukti empiris yang baru dan tantangan teoretis internal.

Sintaksis Pengantar Linguistik dan Struktur Kalimat | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) 


13.2. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Teori Minimalis

Dicetuskan oleh Noam Chomsky pada awal 1990-an, Teori Minimalis merupakan sebuah "program" penelitian yang bertujuan untuk menyederhanakan aparatus teoretis tata bahasa generatif. Alih-alih sekumpulan aturan yang kaku, Minimalis adalah sebuah pendekatan yang didorong oleh pertanyaan mendasar: Seberapa sederhana dan optimal sistem bahasa manusia itu? (Chomsky, 1995). Pertanyaan ini memunculkan beberapa prinsip dasar:

1.      Tata Bahasa sebagai Sistem yang Optimal: Minimalis beranggapan bahwa fakultas bahasa adalah solusi optimal terhadap kondisi yang dipaksakan oleh sistem antarmuka (interface)—yakni, sistem pemikiran-konseptual (semantik) dan sistem sensorimotor (fonologi). Sintaksis bertugas membangun struktur yang dapat "dibaca" atau ditafsirkan secara sempurna oleh kedua sistem ini.

2.      Pendekuran Ekonomi (Economy): Prinsip ini menyatakan bahwa derivasi sintaksis (proses pembentukan struktur) dan representasi struktural harus sesederhana dan sehemat mungkin. Operasi sintaksis hanya boleh berlaku jika diperlukan, dan di antara beberapa derivasi yang mungkin, yang terpilih adalah yang paling efisien (yang menggunakan langkah paling sedikit atau sumber daya komputasi paling kecil).

3.      Pemerolehan Fitur (Feature Valuation) dan Keutuhan Interpretif: Unit dasar dalam komputasi sintaksis adalah fitur. Kata-kata masuk ke dalam derivasi dengan membawa seperangkat fitur (misalnya, fitur [±Tunggal], [±Lampau], [±Nominatif]). Komputasi sintaksis didorong oleh kebutuhan untuk "memeriksa" atau "menilai" fitur-fitur ini agar struktur yang dihasilkan dapat ditafsirkan secara sempurna di antarmuka. Fitur yang tidak terinterpretasi (uninterpretable features) harus dihilangkan selama derivasi, jika tidak, derivasi akan gagal (crash).

13.3. Struktur Frasa Minimalis

Teori Minimalis merepresentasikan struktur frasa dengan cara yang lebih sederhana dan universal dibandingkan model X-Bar yang lebih lama. Meskipun mempertahankan gagasan tentang inti (head) dan proyeksi, representasinya sering kali disederhanakan.

1.      Struktur Merge: Operasi sintaksis paling dasar adalah Merge (Penggabungan). Operasi ini mengambil dua objek sintaksis (α dan β) dan menggabungkannya untuk membentuk objek baru {α, β}. Ini adalah operasi rekursif yang membangun struktur biner dari bawah ke atas (bottom-up). Sebagai contoh, menggabungkan baca (V) dengan buku (N) menghasilkan Frasa Verba (VP) {baca, buku}.

2.      Tata Bahasa Universal dan Struktur Frasa: Minimalis berhipotesis bahwa perbedaan struktur frasa antar bahasa tidaklah mendasar. Perbedaan urutan kata, seperti urutan Verba-Objek (VO) dalam bahasa Indonesia versus Objek-Verba (OV) dalam bahasa Jepang, dijelaskan melalui properti fitur dari inti frasa dan operasi tambahan seperti Move (Pergerakan), bukan melalui perbedaan dalam aturan struktur frasa itu sendiri (Carnie, 2021).

3.      Fase (Phase): Untuk membatasi kompleksitas komputasi, Chomsky (2001) memperkenalkan konsep fase. Fase adalah unit sintaksis seperti Frasa Kerja (vP) dan Frasa Penanda Waktu-Tense (CP) yang dikirim atau "dibekukan" dan dikirim ke antarmuka semantik dan fonologis secara bertahap, bukan menunggu seluruh kalimat selesai. Ini menjelaskan mengapa proses sintaksis tertentu tampaknya terbatas dalam domain tertentu di dalam kalimat.

13.4. Fitur dan Operasi dalam Teori Minimalis

Komputasi sintaksis dalam Minimalis digerakkan oleh fitur dan serangkaian operasi yang terbatas.

1.      Jenis-Jenis Fitur: Fitur diklasifikasikan menjadi:

o    Fitur Interpretabel vs. Tak-Terinterpretabel: Fitur interpretabel (misalnya, fitur semantik pada nomina seperti [±Manusia]) berkontribusi pada makna. Fitur tak-terinterpretabel (misalnya, fitur kasus pada nomina atau fitur φ-[person, number, gender] pada verba) hanya berfungsi sebagai pemicu sintaksis dan harus dihilangkan.

o    Fitur Pribadi (Privative) vs. Fitur Biner: Beberapa fitur ada atau tidak ada (pribadi), sementara yang lain memiliki nilai [+ atau -].

2.      Operasi-Operasi Kunci:

o    External Merge: Penggabungan dua elemen yang independen, misalnya menggabungkan verba dengan objeknya.

o    Internal Merge (Move): Penggabungan ulang sebuah elemen yang sudah menjadi bagian dari struktur. Inilah yang menghasilkan fenomena seperti pertanyaan (Buku apa yang __ kamu baca?) di mana buku apa berpindah dari posisi objek).

o    Agree (Persetujuan): Operasi di mana sebuah probe (pemeriksa) dengan fitur tak-terinterpretasi mencari goal (sasaran) dalam domainnya yang memiliki fitur interpretabel yang cocok untuk memeriksa dan menghapus fitur tak-terinterpretasi tersebut. Misalnya, Tense (Probe) mencari Subjek (Goal) untuk memeriksa fitur person dan number.

13.5. Kritik dan Tantangan dalam Teori Minimalis

Meskipun berpengaruh besar, Teori Minimalis menghadapi berbagai kritik dan tantangan, baik dari luar maupun dalam linguistik generatif.

1.      Tingkat Abstraksi yang Tinggi: Banyak analisis Minimalis yang sangat abstrak dan sulit diverifikasi melalui data linguistik yang diamati. Kritik dari linguistik fungsional dan kognitif menilai bahwa Minimalis mengabaikan fungsi komunikatif dan basis penggunaan bahasa (usage-based) dalam membentuk gramatikalitas (Goldberg, 2006).

2.      Kecukupan Penjelas (Explanatory Adequacy): Sementara Minimalis bertujuan untuk menjelaskan akuisisi bahasa, beberapa ahli mempertanyakan apakah model yang sangat abstrak dan mengandalkan fitur biner yang halus benar-benar dapat dipelajari oleh anak-anak tanpa pengetahuan bawaan yang sangat spesifik.

3.      Variasi dan Universalitas: Menjelaskan variasi yang luas di antara bahasa-bahasa dunia dengan alat teoretis yang minimal tetap menjadi tantangan besar. Hipotesis bahwa variasi dapat direduksi menjadi perbedaan dalam leksikon (kumpulan kata dan fiturnya) dianggap oleh sebagian orang sebagai penyederhanaan yang berlebihan (Newmeyer, 2005).

4.      Integrasi dengan Bukti Empiris Lain: Tantangan besar bagi Minimalis dan sintaksis teoritis pada umumnya adalah mengintegrasikan temuan dari bidang lain, seperti psikolinguistik dan neurolinguistik. Bukti tentang pemrosesan bahasa secara real-time atau lokalisasi neural untuk fungsi gramatikal belum selalu selaras dengan klaim teoretis Minimalis (Embick & Poeppel, 2015).

5.      Keterjangkauan Komputasi (Computational Tractability): Meski bertujuan untuk efisiensi, model Minimalis sering kali menghasilkan ruang hipotesis yang sangat besar selama proses derivasi, yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana otak manusia dapat mengelola komputasi semacam itu dengan begitu cepat dan lancar.

Kesimpulan

Teori Minimalis telah mendefinisikan ulang agenda penelitian dalam sintaksis teoritis selama tiga dekade terakhir. Dengan fokusnya pada kesederhanaan, optimalitas, dan interaksi sistem, program ini telah memicu investigasi mendalam tentang sifat dasar fakultas bahasa. Meskipun menghadapi kritik yang sah mengenai tingkat abstraksinya dan keterkaitannya dengan bukti empiris dari disiplin ilmu lain, kerangka ini terus menjadi kekuatan pendorong yang produktif dalam linguistik.

Masa depan sintaksis kemungkinan akan melibatkan upaya untuk menjembatani kesenjangan antara elegansi teoretis model Minimalis dan kompleksitas kekayaan data linguistik serta temuan dari ilmu kognitif. Integrasi yang lebih dalam dengan psikolinguistik, neurolinguistik, dan linguistik korpus bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk mengembangkan teori sintaksis yang tidak hanya elegan secara internal tetapi juga dapat dipertahankan secara empiris dan komputasi. Dengan demikian, isu-isu kontemporer dalam sintaksis mencerminkan kedewasaan bidang ini, yang terus-menerus melakukan introspeksi dan perbaikan diri dalam upayanya untuk mengungkap salah satu misteri terbesar manusia: bahasa.

 

Daftar Pustaka

Carnie, A. (2021). Syntax: A generative introduction (4th ed.). Wiley-Blackwell.

Chomsky, N. (1995). The Minimalist Program. MIT Press.

Chomsky, N. (2001). Derivation by phase. In M. Kenstowicz (Ed.), Ken Hale: A life in language (pp. 1–52). MIT Press.

Embick, D., & Poeppel, D. (2015). Towards a computational(ist) neurobiology of language: Correlational, integrated and explanatory neurolinguistics. Language, Cognition and Neuroscience, 30(4), 357–366.

Goldberg, A. E. (2006). Constructions at work: The nature of generalization in language. Oxford University Press.

Newmeyer, F. J. (2005). Possible and probable languages: A generative perspective on linguistic typology. Oxford University Press.

Adger, D. (2003). Core syntax: A minimalist approach. Oxford University Press.

Bošković, Ž. (2016). What is sent to the sensory-motor interface? The Linguistic Review, 33(4), 535–559.

Senin, 08 Desember 2025

PENERAPAN SINTAKSIS DALAM PENGAJARAN BAHASA

14.1. Pendekatan Sintaksis dalam Pengajaran Bahasa Kedua

Sintaksis merupakan salah satu cabang utama linguistik yang berfokus pada struktur kalimat dan hubungan antarkata dalam membentuk makna (Kridalaksana, 2010). Dalam konteks pengajaran bahasa kedua (B2), pemahaman terhadap sintaksis menjadi sangat penting karena mempengaruhi kemampuan peserta didik dalam membentuk kalimat yang gramatikal dan komunikatif. Penguasaan struktur sintaktis membantu pembelajar memahami aturan penataan unsur bahasa seperti subjek, predikat, objek, dan keterangan sehingga mereka dapat berkomunikasi secara efektif.

Pendekatan sintaksis dalam pengajaran bahasa kedua tidak hanya menekankan pada hafalan aturan tata bahasa, tetapi juga pada kemampuan mengidentifikasi dan menggunakan pola-pola sintaktis dalam konteks nyata (Richards & Rodgers, 2014). Pendekatan ini mengintegrasikan teori linguistik struktural dan fungsional, di mana guru membantu siswa memahami fungsi tiap unsur kalimat berdasarkan konteks penggunaannya.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing (BIPA), misalnya, pendekatan sintaktis digunakan untuk memperkenalkan pola dasar S-P-O-K (Subjek–Predikat–Objek–Keterangan). Guru dapat menunjukkan variasi kalimat berdasarkan struktur tersebut, seperti perbandingan antara “Saya makan nasi” dan “Nasi saya makan.” Pendekatan ini membantu siswa memahami fleksibilitas struktur kalimat bahasa Indonesia yang tidak selalu bersifat kaku seperti dalam bahasa Inggris.

Sintaksis Pengantar Linguistik dan Struktur Kalimat | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) 

14.2. Metode dan Strategi Pengajaran Sintaksis

Metode pengajaran sintaksis umumnya disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik siswa. Beberapa metode yang sering digunakan antara lain metode deduktif, induktif, dan kontekstual.

Metode deduktif menekankan pada penjelasan teori terlebih dahulu sebelum memberikan latihan. Guru menjelaskan aturan pembentukan kalimat, kemudian siswa menerapkannya melalui latihan-latihan (Brown, 2007). Sebaliknya, metode induktif mengajak siswa untuk menemukan sendiri pola sintaktis melalui analisis contoh kalimat. Metode ini dianggap lebih efektif dalam menumbuhkan kesadaran gramatikal alami.

Selain itu, pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) juga relevan dalam pengajaran sintaksis. Dalam pendekatan ini, struktur kalimat dipelajari melalui konteks nyata seperti teks berita, percakapan, atau karya sastra. Hal ini membantu siswa memahami bahwa sintaksis bukan sekadar seperangkat aturan formal, tetapi juga sarana untuk membangun makna sosial dan budaya (Halliday, 2014).

Guru dapat menggunakan strategi “sentence combining” (penggabungan kalimat) untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa. Melalui kegiatan ini, siswa diajak menggabungkan dua atau lebih kalimat sederhana menjadi kalimat kompleks yang koheren, sehingga mereka belajar mengenali fungsi klausa dan konjungsi secara alami (Oshima & Hogue, 2006).

14.3. Pengajaran Sintaksis Melalui Latihan Terstruktur

Latihan terstruktur merupakan cara efektif untuk memperkuat pemahaman sintaksis. Latihan ini dapat berupa kegiatan mengisi bagian kalimat yang hilang, menyusun kalimat acak, atau menganalisis kesalahan sintaktis dalam teks.

Menurut Tarigan (2011), latihan terstruktur membantu pembelajar menginternalisasi pola-pola gramatikal tanpa harus terus-menerus mengandalkan penjelasan teori. Misalnya, siswa diminta untuk menyusun kalimat dari potongan kata seperti “pergi – ke pasar – ibu” menjadi “Ibu pergi ke pasar.” Aktivitas seperti ini melatih intuisi sintaktis dan membantu mereka memahami fungsi masing-masing unsur.

Guru juga dapat menggunakan teknik transformation drills, yakni meminta siswa mengubah kalimat aktif menjadi pasif atau sebaliknya. Latihan ini menumbuhkan kesadaran bahwa perubahan posisi unsur kalimat mempengaruhi makna dan struktur sintaktis. Selain itu, kegiatan error analysis (analisis kesalahan) juga penting karena memberikan kesempatan bagi siswa untuk memahami dan memperbaiki kesalahan struktur yang sering muncul, terutama akibat interferensi bahasa pertama.

14.4. Penggunaan Media dan Teknologi dalam Pengajaran Sintaksis

Perkembangan teknologi informasi memberikan peluang besar untuk meningkatkan efektivitas pengajaran sintaksis. Media digital seperti learning management system (LMS), aplikasi tata bahasa, dan perangkat analisis linguistik dapat digunakan untuk memvisualisasikan struktur kalimat dan memberikan umpan balik otomatis (Beatty, 2010).

Aplikasi seperti “Grammarly” atau “ProWritingAid” misalnya, dapat membantu siswa mendeteksi kesalahan struktur dalam tulisan mereka. Dalam konteks bahasa Indonesia, platform seperti “KBBI Daring” dan “Tatabahasa.id” menyediakan penjelasan dan latihan interaktif mengenai struktur kalimat.

Guru juga dapat menggunakan teknologi corpus linguistics untuk memperkenalkan analisis data autentik. Dengan perangkat seperti AntConc atau Sketch Engine, siswa dapat mengamati frekuensi dan pola sintaktis yang muncul dalam teks nyata. Pendekatan berbasis korpus ini memungkinkan pembelajaran berbasis penemuan (data-driven learning), di mana siswa belajar langsung dari contoh penggunaan bahasa dalam konteks alami (Biber et al., 1998).

Selain itu, media audiovisual seperti film, video YouTube edukatif, atau podcast dapat digunakan untuk memperlihatkan variasi struktur kalimat dalam konteks komunikasi nyata. Dengan demikian, pembelajaran sintaksis menjadi lebih menarik, aplikatif, dan berorientasi pada komunikasi.

14.5. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Sintaksis

Pendekatan komunikatif menempatkan sintaksis dalam konteks penggunaan bahasa yang bermakna. Fokusnya bukan hanya pada kebenaran struktur kalimat, tetapi juga pada kemampuan siswa untuk menggunakan struktur tersebut secara fungsional dalam berkomunikasi (Littlewood, 1981).

Dalam pendekatan ini, kegiatan seperti role play, dialogue completion, dan information gap dapat digunakan untuk melatih penerapan struktur kalimat secara kontekstual. Misalnya, siswa diminta memainkan peran sebagai pembeli dan penjual dengan menggunakan kalimat imperatif dan interogatif.

Dengan demikian, mereka tidak hanya memahami teori tentang bentuk kalimat, tetapi juga dapat menggunakan bentuk tersebut secara tepat sesuai fungsi komunikatifnya. Guru berperan sebagai fasilitator yang menciptakan lingkungan komunikasi autentik, bukan sekadar sebagai sumber informasi.

14.6. Problematika Sintaksis dalam Pembelajaran Bahasa

Salah satu tantangan utama dalam pembelajaran sintaksis adalah kesulitan siswa dalam memahami perbedaan antara struktur formal dan makna kontekstual. Menurut Chaer (2015), banyak pembelajar bahasa Indonesia maupun asing yang mengalami kesalahan karena terlalu berfokus pada bentuk kalimat tanpa mempertimbangkan fungsi komunikatifnya.

Masalah lain adalah interferensi bahasa pertama (L1 interference), di mana pola sintaktis bahasa ibu terbawa ke dalam bahasa kedua. Misalnya, penutur bahasa Inggris sering kali menggunakan struktur “I already eat” saat berbicara bahasa Indonesia karena memproyeksikan pola subject-verb dari bahasa asalnya.

Selain itu, kurangnya latihan dan konteks autentik membuat siswa hanya menghafal aturan tanpa mampu menggunakannya secara komunikatif. Guru perlu menggabungkan pendekatan analitis dan komunikatif agar pembelajaran sintaksis tidak bersifat mekanis, tetapi juga bermakna.

14.7. Interferensi Bahasa Pertama

Interferensi bahasa pertama merupakan fenomena umum yang memengaruhi pembelajaran sintaksis bahasa kedua. Lado (1957) menjelaskan bahwa kesalahan gramatikal sering muncul akibat transfer negatif dari bahasa ibu ke bahasa target. Dalam konteks pembelajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing, interferensi dapat terjadi pada urutan kata, penggunaan afiks, atau konstruksi pasif.

Misalnya, penutur bahasa Jepang yang cenderung menempatkan predikat di akhir kalimat (“Saya nasi makan”) mungkin kesulitan menyesuaikan diri dengan struktur S-P-O bahasa Indonesia. Untuk mengatasi hal ini, guru perlu memberikan latihan kontrasif antara struktur bahasa pertama dan bahasa target (Ellis, 2008).

Selain itu, pendekatan error correction feedback terbukti efektif dalam mengurangi pengaruh interferensi. Guru memberikan umpan balik eksplisit dan implisit atas kesalahan struktur siswa, disertai penjelasan tentang perbedaan aturan antara dua bahasa. Dengan demikian, siswa dapat memperbaiki kesalahan secara sadar dan bertahap.

 

Kesimpulan

Penerapan sintaksis dalam pengajaran bahasa merupakan aspek fundamental yang berpengaruh terhadap kompetensi komunikatif siswa. Melalui pendekatan sintaktis yang terintegrasi dengan metode komunikatif, penggunaan media teknologi, dan latihan terstruktur, pembelajar dapat menguasai struktur kalimat secara alami dan bermakna.

Penguasaan sintaksis bukan hanya persoalan tata bahasa formal, tetapi juga tentang kemampuan menggunakan bahasa secara efektif dalam konteks sosial yang nyata. Oleh karena itu, guru bahasa perlu menggabungkan teori linguistik dengan praktik komunikatif agar pengajaran sintaksis menjadi lebih relevan dan kontekstual.

 

Daftar Pustaka

Beatty, K. (2010). Teaching and researching computer-assisted language learning (2nd ed.). Pearson Education.
Biber, D., Conrad, S., & Reppen, R. (1998). Corpus linguistics: Investigating language structure and use. Cambridge University Press.
Brown, H. D. (2007). Principles of language learning and teaching (5th ed.). Pearson Education.
Chaer, A. (2015). Linguistik umum. Rineka Cipta.
Ellis, R. (2008). The study of second language acquisition (2nd ed.). Oxford University Press.
Halliday, M. A. K. (2014). Halliday’s introduction to functional grammar (4th ed.). Routledge.
Kridalaksana, H. (2010). Kamus linguistik (4th ed.). Gramedia Pustaka Utama.
Lado, R. (1957). Linguistics across cultures: Applied linguistics for language teachers. University of Michigan Press.
Littlewood, W. (1981). Communicative language teaching: An introduction. Cambridge University Press.
Oshima, A., & Hogue, A. (2006). Writing academic English (4th ed.). Pearson Longman.
Richards, J. C., & Rodgers, T. S. (2014). Approaches and methods in language teaching (3rd ed.). Cambridge University Press.
Tarigan, H. G. (2011). Pengajaran sintaksis. Angkasa.


 

Minggu, 07 Desember 2025

SINTAKSIS DALAM VARIASI BAHASA DAN DIALEK

12.1. Sintaksis dalam Variasi Bahasa dan Dialek

Pengantar Variasi Bahasa dan Dialek

Dalam kajian sosiolinguistik dan dialektologi, istilah variasi bahasa mencakup perubahan atau perbedaan bentuk bahasa yang digunakan oleh kelompok penutur yang berbeda baik secara wilayah, sosial, usia, atau register. Sebagai contoh, lembaga Balai Bahasa Provinsi Maluku menyebut bahwa “dialek” adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur di wilayah tertentu, yang ditandai oleh ciri-ciri bersama seperti susunan kalimat, gaya berbicara, serta fitur morfologi dan sintaksis. Balaibahasaprovinsimaluku+2Kongres Bahasa Indonesia+2
Dalam kajian mengenai sintaksis, maka yang menjadi perhatian adalah bagaimana susunan kata, frasa, klausa, dan kalimat dapat berbeda-beda antar ragam bahasa atau antar dialek suatu bahasa.

Apa yang Dimaksud dengan Sintaksis dalam Konteks Variasi

Secara umum, sintaksis adalah cabang linguistik yang mempelajari pengaturan dan hubungan antar kata, frasa, klausa dalam kalimat, atau antar satuan yang lebih besar dalam bahasa. UNNES Blog+1
Ketika kita mengaitkannya dengan variasi bahasa dan dialek, maka fokusnya adalah pada bagaimana struktur sintaksis—seperti urutan unsur (subjek-predikat-objek = SPO), pemakaian klausa koordinatif atau subordinatif, prefiks/sufiks yang memengaruhi pola frasa, serta konstruksi khusus (misalnya kausalitas, pasifitas) —bisa bervariasi antar ragam/penutur. Misalnya, dalam dialek suatu daerah, bisa muncul susunan kalimat yang berbeda dari ragam baku karena faktor region atau sosial.

Sintaksis Pengantar Linguistik dan Struktur Kalimat | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) 

Contoh Variasi Sintaksis di Indonesia

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa dialek atau ragam non-baku dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah memiliki struktur sintaksis yang berbeda dari ragam baku. Sebagai contoh, penelitian yang dikutip dalam prosiding menunjukkan bahwa dalam dialek Medan, susunan kalimat penjual memakai struktur yang berbeda dibanding Bahasa Indonesia baku. Jurnal UNS
Misalnya:

·         Baku: “Coba kakak cek yang ini barangnya bagus, Kak.”

·         Dialek Medan: “Cak kak cek la ini barang bagus, Kak.” Jurnal UNS
Perbedaan terletak pada penempatan unsur-kalimat (misalnya “la” sebagai partikel, pergeseran urutan kata), penghilangan atau perubahan preposisi, serta penggunaan partikel khas dialek.

Contoh lain: penelitian “Analytical Causative Construction in Banyumasan Dialect and West Kalimantan Hakka Dialect” menunjukkan bahwa konstruksi kausatif (menyebabkan) dalam dialek Banyumasan (Austronesia) dan dialek Hakka (Sino-Tibet) berbeda secara tipologi. Journal UNP
Dengan demikian, variasi sintaksis bukan hanya soal kosakata atau lafal, tetapi juga susunan internal kalimat dan relasi antar unsur kalimat.

Penyebab Variasi Sintaksis

Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya variasi sintaksis dalam dialek atau ragam bahasa antara lain:

·         Faktor wilayah (geografi). Dialek regional sering mengembangkan pola susunan kalimat sendiri. Misalnya, variasi dialek sosial maupun regional di dalam bahasa Jawa ditemukan adanya perbedaan morfologi dan sintaksis antar kelompok usia atau antar wilayah. eprints.undip

·         Faktor sosial. Golongan sosial, tingkat pendidikan, usia, jenis kelamin penutur dapat mempengaruhi pilihan struktur sintaksis. Misalnya, ragam ‘anak muda’ bisa menggunakan kalimat yang lebih tumpang tindih (elliptical), susunan yang tidak baku dibanding ragam formal. Lembaga bahasa menyebut bahwa variasi sosial mencakup susunan kalimat, gaya bahasa, dan sebagainya. Balaibahasaprovinsimaluku+1

·         Kontak bahasa. Bila suatu komunitas menggunakan lebih dari satu bahasa atau dialek, maka konstruksi sintaksis bisa dipengaruhi (interferensi) dari bahasa lain atau dialek lain—misalnya dalam studi code-switching bilingual. Machung Journal

·         Faktor register dan konteks penggunaan. Ragam lisan informal cenderung memiliki struktur lebih sederhana, pragmatis, kalimat tersingkat, dibanding ragam tertulis atau formal yang menjaga struktur baku.

Implikasi Analisis Sintaksis Ragam Bahasa dan Dialek

Menganalisis sintaksis dalam variasi bahasa atau dialek memiliki beberapa manfaat:

·         Memahami karakteristik kalimat yang muncul dalam ragam non-baku sehingga dapat menjadi dokumen linguistik bagi pelestarian dialek.

·         Memberi kontribusi pada pengajaran bahasa—guru dapat memahami mengapa penutur dialek tertentu cenderung membuat ‘kesalahan’ ketika menggunakan Bahasa Indonesia baku, karena struktur sintaksis dialek mereka berbeda.

·         Mendukung pengembangan pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing/NLP) untuk bahasa Indonesia dan dialeknya — penelitian menunjukkan bahwa kurangnya data mengenai dialek dan variasi membuat sistem NLP kurang optimal. arXiv

12.2. Pengaruh Sosial dan Regional terhadap Sintaksis

Dimensi Regional

Regionalitas adalah salah satu unsur utama dalam variasi bahasa. Dialek regional muncul karena faktor historis, pemisahan geografis, interaksi bahasa antar wilayah, dan evolusi internal penutur. Lembaga bahasa menegaskan bahwa dialek regional (“dialek areal”) adalah variasi bahasa yang digunakan oleh penutur di wilayah tertentu, dan perbedaan ini meliputi fonologi, morfologi, sintaksis. Balaibahasaprovinsimaluku+1
Sebagai contoh, penelitian “Variasi Bahasa – Balai Bahasa Provinsi Maluku” menyebut bahwa variasi sintaksis dapat muncul dalam dialek karena perbedaan susunan kalimat, pilihan unsur, atau konstruksi yang khas wilayah. Balaibahasaprovinsimaluku+1
Penelitian pada dialek Biak, misalnya, menyoroti bahwa dalam dialek Biak Utara terdapat variasi sintaksis dibanding dialek yang lebih terpengaruh luar. Sastra Papua
Oleh karena itu, pengaruh regional terhadap sintaksis memungkinkan munculnya pola sintaksis yang khas, bahkan berbeda signifikan dengan susunan yang dianggap ‘standar’.

Dimensi Sosial

Variasi sosial atau sosiolek adalah ragam bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial tertentu yang berbeda menurut usia, pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, status ekonomi, dan sebagainya. Balaibahasaprovinsimaluku+1
Dalam aspek sintaksis, ini berarti bahwa kelompok sosial tertentu mungkin memilih susunan kalimat yang berbeda, memanfaatkan konstruksi yang lebih ringkas, atau menggunakan partikel/frasa khas dalam komunikasi informal. Sebagai contoh:

·         Penutur muda cenderung menggunakan kalimat eliptis (“Gak bisa lah, nanti aja”) dibanding struktur baku formal (“Saya tidak bisa, kita lakukan nanti”).

·         Penutur dengan pendidikan tinggi mungkin mengikuti pola sintaksis baku lebih konsisten, sedangkan penutur dengan latar sosial lain mungkin memilih ragam yang lebih bebas.
Menurut imbuhan narabahasa, penguasaan sintaksis penting untuk memahami ragam-bahasa karena unsur seperti susunan kata dalam frasa, klausa, atau kalimat dapat berubah tergantung ragam. Nara Bahasa
Hal ini berarti bahwa analisis sintaksis harus mempertimbangkan faktor sosial agar tidak dianggap ‘keliru’ ketika ragam informal atau dialek dipakai.

Interaksi Sosial-Regional dan Sintaksis

Sosial dan regional tidak berdiri sendiri; seringkali terjadi interaksi antara lokasi geografis dan status sosial. Sebagai contoh, dialek wilayah pesisir mungkin memiliki struktur sintaksis yang berbeda dan digunakan oleh penutur yang tingkat pendidikannya atau aktivitas sosialnya berbeda. Hal ini memperkaya variasi sintaksis yang muncul.
Penelitian dialektologi menunjukkan bahwa variasi sintaksis adalah bagian dari variasi bahasa yang meliputi morfologi, leksikon, dan fonologi. eprints.undip+1
Misalnya, variabel sosiolek dalam Bahasa Indonesia mencakup perubahan dalam morfologi (prefiks/sufiks), susunan frasa, dan bahkan urutan klausa.

Dampak terhadap Pemakaian Bahasa dan Pembelajaran

Adanya pengaruh sosial-regional terhadap sintaksis memiliki sejumlah implikasi praktis:

·         Dalam pendidikan bahasa Indonesia. Guru dan pengajar harus menyadari bahwa siswa yang berasal dari wilayah dengan dialek yang berbeda mungkin memiliki susunan kalimat yang berbeda dari Bahasa Indonesia baku, sehingga pendampingan diperlukan agar siswa memahami perbedaan dan menggunakan ragam baku ketika diperlukan.

·         Dalam penerjemahan dan komunikatif antar-wilayah. Bila seseorang dari satu dialek berkomunikasi dengan penutur dari daerah lain, perbedaan sintaksis bisa menimbulkan salah tafsir atau dianggap ‘tidak baku’.

·         Dalam pelestarian dialek dan penelitian bahasa. Struktur sintaksis dialek bisa menjadi indikator perubahan bahasa (language change) di wilayah tertentu dan membantu dokumentasi dialek.

·         Dalam teknologi bahasa (NLP). Sistem otomatis pengolahan bahasa perlu memperhitungkan variasi sintaksis karena model yang hanya dibangun atas ragam baku dapat gagal mengenali konstruksi kalimat dialek atau sosial-ragam. (lihat Aji et al., 2022) arXiv

Tantangan dan Prospek

Beberapa tantangan yang muncul dalam penelitian sintaksis dalam variasi bahasa dan dialek adalah:

·         Data yang memadai. Banyak studi masih terfokus pada fonologi dan leksikon dialek, sementara analisis sintaksis secara mendalam (frasa-klausa, konstruksi kompleks) masih terbatas.

·         Identifikasi struktur yang berlaku dalam konteks informal. Ragam non-baku sering memakai struktur yang fleksibel atau eliptis, sehingga menuntut analisis yang sensitif terhadap konteks.

·         Perubahan cepat dalam masyarakat urban dan digital. Dialek dan ragam sosial berubah dengan cepat, terutama lewat media sosial, sehingga struktur sintaksis pun bisa bergeser.

·         Teknologi dan dokumentasi. Untuk memperkuat penelitian, dibutuhkan dokumentasi audio/skrip ragam berbagai kelompok sosial dan wilayah agar struktur sintaksis bisa dianalisis secara komparatif.

Di sisi prospek, penelitian sintaksis ragam bahasa dan dialek menawarkan peluang besar, antara lain:

·         Pembentukan model tipologi sintaksis dialek Indonesia yang lebih sistematis.

·         Pemanfaatan data ragam dalam pengajaran dan literasi ragam bahasa di sekolah.

·         Integrasi ragam dialek ke dalam aplikasi teknologi bahasa (speech recognition, machine translation) untuk konteks Indonesia yang sangat plural.

 

Penutup

Analisis sintaksis dalam konteks variasi bahasa dan dialek (bagian 12.1) serta pengaruh sosial-regional terhadap struktur sintaksis (bagian 12.2) menggarisbawahi bahwa tata kalimat bukanlah satu hal baku yang sama di seluruh penutur. Susunan kata, frasa, klausa dapat berbeda tergantung wilayah, kelompok sosial, usia, register, dan kontak bahasa. Bagi “Pusat Referensi Linguistik”, pemahaman terhadap keragaman sintaksis ini sangat penting: bukan hanya untuk menilai ragam baku, tetapi juga untuk memahami kekayaan linguistik ragam bahasa Indonesia dan dialeknya. Dengan demikian, penelitian, pengajaran, dan dokumentasi bahasa Indonesia menjadi lebih inklusif dan responsif terhadap realitas penggunaan di masyarakat.

Referensi

Aji, H. A., Winata, G. I., Koto, F., Cahyawijaya, S., Romadhony, A., Mahendra, R., Kurniawan, K., Moeljadi, D., Baldwin, T., Lau, J. H., & Ruder, S. (2022). One country, 700+ languages: NLP challenges for under-represented languages and dialects in Indonesia. arXiv. https://arxiv.org/abs/2203.13357 arXiv
Chaer, A., & Agustina, L. (2014). Linguistik Umum (ed. revisi). Rineka Cipta. (cited in KBI: “gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya…”) Kongres Bahasa Indonesia
Febriyanti Sunaryo, D., Nuryanti, F., Nurchasanah, T., & Varisca, Z. H. (2024). The dynamic of dialect variation in language learning. Jurnal Tunas Pendidikan, 7(1). https://doi.org/10.52060/pgsd.v7i1.1884 ejournal.ummuba.ac.id
Iskandar, D., Pujiono, M., & Abdul Samad, I. (2023). The profile of Acehnese variation: Sociolinguistic analysis. International Journal of Comparative Literature and Translation Studies. https://doi.org/10.4668/ijclts.v11i1.4668 AIAC Journals
Kurniawan, J. N. D., & Subiyanto, A. (2023). Analytical causative construction in Banyumasan dialect and West Kalimantan Hakka dialect: A linguistic typology study. Lingua Didaktika: Jurnal Bahasa dan Pembelajaran Bahasa, 17(1). https://doi.org/10.24036/ld.v17i1.119188 Journal UNP
Lestari, D. A., Akbarjono, A., & Heriadi, M. (2025). Quantifying dialect relatedness in Serawai (Bengkulu, Indonesia): A 200-item lexicostatistical study. JPI: Jurnal Pustaka Indonesia, 5(3). https://doi.org/10.62159/jpi.v5i3.392 siducat.org
“Mengupas sintaksis: kunci mendalami ragam bahasa Indonesia.” (2023, November 20). Narabahasa. https://narabahasa.id/berita/mengupas-sintaksis-kunci-mendalami-ragam-bahasa-indonesia/ Nara Bahasa
Nitrit Kawasari, M. (2025). Variasi penggunaan bahasa Jawa: perbedaan unsur kebahasaan berupa fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. ePrints Undip. eprints.undip
“Variasi Bahasa – Balai Bahasa Provinsi Maluku.” (2018, July 3). Balai Bahasa Provinsi Maluku. https://balaibahasaprovinsimaluku.kemdikbud.go.id/2018/07/variasi-bahasa/ Balaibahasaprovinsimaluku
“Pengertian dan medan telaah sintaksis.” (2016, April 8). Bangga Berbahasa Indonesia. https://blog.unnes.ac.id/meinafebri/2016/04/08/pengertian-dan-medan-telaah-sintaksis/ UNNES Blog

Sabtu, 06 Desember 2025

Sintaksis dan Semantik: Dua Pilar Utama dalam Analisis Bahasa

 Oleh: Tim Pusat Referensi Linguistik

10.1. Sintaksis dan Semantik

Dalam kajian linguistik, sintaksis dan semantik merupakan dua komponen fundamental yang saling terkait namun memiliki ranah kajian yang berbeda. Sintaksis membahas struktur gramatikal dan aturan penyusunan kata menjadi frasa, klausa, dan kalimat, sementara semantik mempelajari makna yang dihasilkan dari susunan tersebut (Fromkin, Rodman, & Hyams, 2018). Keduanya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami hakikat bahasa manusia.

Hubungan antara sintaksis dan semantik sering digambarkan sebagai hubungan antara bentuk dan makna. Sintaksis menyediakan kerangka struktural, sedangkan semantik mengisi kerangka tersebut dengan kandungan makna. Sebagai analogi, sintaksis adalah tulang punggung yang menyangga tubuh bahasa, sementara semantik adalah daging dan darah yang membuat bahasa hidup dan bermakna.

Landasan Teoretis

Dalam perkembangan linguistik modern, hubungan sintaksis-semantik telah melahirkan berbagai pendekatan teoretis. Chomsky (1965) dalam Aspects of the Theory of Syntax memperkenalkan konsep Struktur-Dalam (Deep Structure) dan Struktur-Luar (Surface Structure), di mana struktur-dalam merepresentasikan level abstrak yang berkaitan dengan interpretasi semantik. Sementara itu, teori Tata Bahasa Kasus (Case Grammar) yang dikembangkan oleh Fillmore (1968) berargumen bahwa struktur sintaksis diturunkan dari representasi semantik yang mendasari.

Sintaksis Pengantar Linguistik dan Struktur Kalimat | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) 

10.2. Perbedaan Antara Sintaksis dan Semantik

Aspek Gramatikal vs. Aspek Makna

Perbedaan mendasar antara sintaksis dan semantik terletak pada fokus kajiannya. Sintaksis berkaitan dengan kesahihan gramatikal (grammaticality), sedangkan semantik berkaitan dengan kebermaknaan (meaningfulness) (Cruse, 2011).

Contoh perbedaan ini dapat dilihat dari kalimat berikut:

·         "Warna-warna yang kehijau-hijauan itu tidur dengan garang."
Kalimat ini secara sintaksis sahih dalam bahasa Indonesia (mengikuti pola S-P-Ket), namun secara semantik tidak masuk akal.

Kriteria Kelengkapan Struktural vs. Kebutuhan Informasi

Sintaksis mensyaratkan kelengkapan struktural, sementara semantik memerlukan kelengkapan informasi. Sebuah kalimat mungkin secara sintaksis lengkap tetapi secara semantik tidak informatif.

Otonomi vs. Ketergantungan Kontekstual

Sintaksis cenderung lebih otonom dan terlepas dari konteks, sedangkan semantik sangat bergantung pada konteks penggunaan bahasa. Perhatikan kalimat:

·         "Dia sudah sampai."
Kalimat ini sintaksisnya lengkap, tetapi maknanya bergantung pada konteks: siapa 'dia', sampai di mana, kapan, dan sebagainya.

Universalitas vs. Kekhasan Budaya

Prinsip-prinsip sintaksis cenderung lebih universal across bahasa-bahasa dunia, sementara sistem semantik sering mencerminkan kekhasan budaya masyarakat penuturnya (Wierzbicka, 1996). Sebagai contoh, konsep "sungai" dalam bahasa Indonesia tidak membedakan arah aliran, sementara dalam bahasa Bali terdapat perbedaan leksikal untuk sungai yang mengalir ke laut (tukad) dan sungai yang mengalir ke danau (yeh).

Tes Linguistik yang Berbeda

Sintaksis dan semantik menggunakan alat analisis yang berbeda:

·         Tes Sintaksis: substitusi, perpindahan, pelesapan, koordinasi

·         Tes Semantik: hubungan sinonimi, antonimi, hiponimi, analisis komponensial

Hubungan Sebab-Akibat

Dalam banyak kasus, struktur sintaksis menentukan interpretasi semantik, namun sebaliknya, makna juga dapat mempengaruhi pilihan struktur sintaksis. Jackendoff (2002) dalam teori Semantic Syntax berargumen bahwa representasi semantik dan sintaksis saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan secara tegas.

10.3. Peranan Tema dan Rema dalam Kalimat

Konsep Tema dan Rema

Konsep tema (theme) dan rema (rheme) berasal dari teori Linguistik Fungsional Praha yang dikembangkan oleh Vilém Mathesius pada tahun 1930-an. Tema mengacu pada unsur yang menjadi titik tolak pembicaraan (topic), sedangkan rema merupakan inti pesan yang disampaikan tentang tema tersebut (comment) (Firbas, 1992).

Dalam kalimat "[Buku yang kamu pinjam] [sudah harus dikembalikan besok]":

·         TemaBuku yang kamu pinjam

·         Remasudah harus dikembalikan besok

Fungsi Komunikatif Tema-Rema

Struktur tema-rema memainkan peran crucial dalam organisasi wacana karena:

1.       Menjaga Kohesi: Tema sering kali merujuk kembali pada informasi yang telah disebutkan sebelumnya

2.       Mengatur Aliran Informasi: Dari informasi yang sudah diketahui (given) menuju informasi baru (new)

3.       Memudahkan Pemrosesan: Memungkinkan pendengar/ pembaca mengikuti alur pembicaraan dengan lebih mudah

Realisasi Tema-Rema dalam Berbagai Bahasa

Setiap bahasa memiliki strategi berbeda untuk menandai struktur tema-rema:

Bahasa Indonesia:

·         Urutan kata: Tema biasanya mendahului rema

·         Partikel: Penggunaan partikel seperti -lah-pun

·         Konstruksi pasif: Buku itu sudah saya baca

·         Kalimat topikalisasi: Mengenai masalah itu, kita akan bahas nanti

Bahasa Jepang:

·         Partikel wa untuk menandai tema

·         Kore wa hon desu (Ini adalah buku)

Bahasa Rusia:

·         Fleksibilitas urutan kata untuk menandai fokus informasi

·         Intonasi sebagai penanda rema

Tema-Rema dan Sintaksis

Hubungan antara struktur tema-rema dan sintaksis kompleks dan saling mempengaruhi. Menurut Lambrecht (1994), struktur informasi (tema-rema) dapat mempengaruhi pilihan konstruksi sintaksis. Sebagai contoh, dalam bahasa Indonesia, konstruksi yang-cleft sering digunakan untuk memfokuskan pada rema:

·         "Yang memenangkan lomba adalah adik saya"

Struktur Informasi dalam Kalimat

Pengembangan konsep tema-rema melahirkan teori Struktur Informasi (Information Structure) yang mencakup:

1.       Topik-Komentar: Pembagian antara apa yang dibicarakan dan apa yang dikatakan tentangnya

2.       Given-New: Pembagian antara informasi yang sudah diketahui dan informasi baru

3.       Fokus-Latar: Pembagian antara unsur yang ditonjolkan dan unsur latar

Implikasi Pedagogis

Pemahaman struktur tema-rema memiliki implikasi penting dalam pengajaran bahasa, khususnya dalam:

1.       Pengajaran Menulis: Membantu siswa mengorganisasi paragraf secara kohesif

2.       Pengajaran Berbicara: Membantu pelajar menyusun presentasi yang efektif

3.       Terapi Wicara: Membantu individu dengan gangguan bahasa dalam mengorganisasi pesan

Aplikasi dalam Teknologi Bahasa

Dalam Pemrosesan Bahasa Alami (Natural Language Processing), pemahaman struktur tema-rema dapat meningkatkan kinerja:

1.       Sistem Tanya-Jawab: Mengidentifikasi fokus pertanyaan dan memberikan jawaban yang relevan

2.       Summarization Otomatis: Menentukan informasi penting yang harus dimasukkan dalam ringkasan

3.       Machine Translation: Mempertahankan struktur informasi dalam terjemahan

Penelitian Mutakhir

Penelitian terkini dalam neurolinguistik menunjukkan bahwa otak manusia memproses informasi tema dan rema secara berbeda. Studi fMRI oleh Bornkessel-Schlesewsky dan Schlesewsky (2009) menemukan bahwa pemrosesan struktur informasi mengaktifkan jaringan neural yang berbeda dengan pemrosesan sintaksis murni.

Kesimpulan

Sintaksis dan semantik, meskipun merupakan bidang kajian yang berbeda, saling melengkapi dalam memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bahasa. Sintaksis memberikan kerangka formal yang memungkinkan komunikasi terstruktur, sementara semantik memberikan muatan makna yang membuat komunikasi tersebut bermakna.

Struktur tema-rema berperan sebagai jembatan antara sintaksis dan semantik dengan mengorganisasi informasi dalam konteks wacana yang lebih luas. Pemahaman tentang ketiga aspek ini—sintaksis, semantik, dan struktur informasi—sangat essential tidak hanya bagi linguis teoretis tetapi juga bagi praktisi pendidikan, terapis wicara, dan pengembang teknologi bahasa.

Dalam era digital ini, integrasi pengetahuan tentang sintaksis, semantik, dan struktur informasi menjadi semakin penting dalam pengembangan sistem kecerdasan buatan yang mampu memahami dan memproduksi bahasa manusia secara alami dan efektif.

 

Daftar Pustaka

Bornkessel-Schlesewsky, I., & Schlesewsky, M. (2009). Processing syntax and morphology: A neurocognitive perspective. Oxford University Press.

Chomsky, N. (1965). Aspects of the theory of syntax. MIT Press.

Cruse, A. (2011). Meaning in language: An introduction to semantics and pragmatics (3rd ed.). Oxford University Press.

Fillmore, C. J. (1968). The case for case. In E. Bach & R. T. Harms (Eds.), Universals in linguistic theory (pp. 1-88). Holt, Rinehart and Winston.

Firbas, J. (1992). Functional sentence perspective in written and spoken communication. Cambridge University Press.

Fromkin, V., Rodman, R., & Hyams, N. (2018). An introduction to language (11th ed.). Cengage Learning.

Jackendoff, R. (2002). Foundations of language: Brain, meaning, grammar, evolution. Oxford University Press.

Lambrecht, K. (1994). Information structure and sentence form: Topic, focus, and the mental representations of discourse referents. Cambridge University Press.

Wierzbicka, A. (1996). Semantics: Primes and universals. Oxford University Press.

Kridalaksana, H. (2011). Kamus linguistik (Edisi Keempat). Gramedia Pustaka Utama.

Paradigma Linguistik Terapan

1. Perdebatan mengenai definisi linguistik terapan Bidang Linguistik Terapan (applied linguistics) telah lama mengalami perdebatan interna...