Selasa, 11 November 2025

Bahasa, Kekuasaan, dan Politik: Ketika Kata Menjadi Alat Menguasai Pikiran (012)

Oleh: Pusat Referensi Linguistik

1. Pendahuluan 

Bahasa tidak pernah netral. Ia selalu memuat makna, ideologi, dan kepentingan tertentu di balik setiap kata yang diucapkan. Dalam konteks politik, bahasa adalah alat kekuasaan — bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk membentuk opini publik, mempengaruhi persepsi, dan melegitimasi otoritas.

Menurut Fairclough (2001), bahasa merupakan bagian dari praktik sosial yang dapat digunakan untuk mempertahankan atau menantang struktur kekuasaan. Dengan kata lain, politik tidak hanya terjadi di parlemen atau dalam kampanye, tetapi juga dalam wacana — cara berbicara, menulis, dan menyusun narasi.

Di Indonesia, bahasa telah memainkan peran penting sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi digital. Slogan, pidato, dan narasi politik menjadi alat strategis untuk membangun citra, menciptakan legitimasi, dan menggerakkan massa.

 

Sosiolinguistik oleh Aco Nasir - Buku Terbaru 2025 | CV. Cemerlang Publishing

2. Bahasa dalam Wacana Politik

Wacana politik adalah penggunaan bahasa dalam konteks kekuasaan — baik untuk memperoleh, mempertahankan, maupun menentang otoritas (van Dijk, 2006). Bahasa politik biasanya penuh dengan metafora, eufemisme, dan simbol-simbol nasional yang bertujuan memengaruhi emosi dan logika publik.

a. Bahasa sebagai Instrumen Pengaruh

Politisi menggunakan bahasa bukan sekadar untuk berkomunikasi, tetapi untuk mempersuasi. Kata-kata mereka disusun dengan cermat agar memunculkan kesan positif, solidaritas, dan kepercayaan. Misalnya:

·         “Demi rakyat dan bersama rakyat”

·         “Indonesia Maju”

·         “Kerja, kerja, kerja”

Ungkapan-ungkapan ini dirancang agar singkat, mudah diingat, dan emosional, sehingga mampu menembus kesadaran publik. Dalam istilah sosiolinguistik, bahasa seperti ini berfungsi sebagai alat retorika dan simbol ideologis (Lakoff, 2004).

b. Manipulasi dan Ideologi dalam Bahasa

Bahasa politik juga bisa menjadi alat manipulasi. Melalui pilihan kata tertentu, realitas bisa dibingkai (framed) agar terlihat lebih positif atau negatif. Contohnya:

·         Istilah “penyesuaian harga BBM” digunakan pemerintah untuk menggantikan kata “kenaikan”, karena terdengar lebih lunak.

·         Ungkapan “pemberantasan korupsi” sering dipakai untuk menunjukkan komitmen moral, meski praktiknya masih dipertanyakan.

Melalui strategi bahasa seperti ini, kekuasaan dapat mengendalikan narasi publik dan membentuk persepsi sosial terhadap kebijakan.

c. Ilustrasi Wacana Politik

Contoh Pidato Politik:
“Kita tidak boleh mundur. Bersama kita bisa membawa Indonesia menjadi bangsa yang disegani dunia. Mari rapatkan barisan!”

Dalam kalimat di atas, kata “kita” menciptakan kesan kebersamaan (solidarity), sedangkan “disegani dunia” menumbuhkan rasa nasionalisme dan kebanggaan. Ini menunjukkan bagaimana bahasa mampu membangun emosionalitas kolektif untuk memperkuat legitimasi.

 

3. Bahasa sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan

Bahasa tidak hanya menjadi sarana komunikasi politik, tetapi juga alat legitimasi kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan memperoleh dan mempertahankan otoritasnya melalui penguasaan terhadap wacana (Foucault, 1980).

a. Pidato Politik dan Pembingkaian Kekuasaan

Pidato politik sering digunakan untuk membangun citra pemimpin. Melalui pilihan kata yang simbolik, pemimpin ingin menampilkan diri sebagai figur karismatik, bijak, dan dekat dengan rakyat. Misalnya:

·         Presiden Soekarno menggunakan gaya retoris dan revolusioner dengan ungkapan seperti “Jas merah: jangan sekali-kali melupakan sejarah”.

·         Presiden Joko Widodo memilih gaya tutur sederhana dan komunikatif, mencerminkan kedekatan dengan masyarakat.

Kedua gaya ini sama-sama berfungsi untuk membangun legitimasi personal dan emosional, meskipun dengan pendekatan yang berbeda.

b. Bahasa dan Kekuasaan Simbolik

Pierre Bourdieu (1991) menyebut fenomena ini sebagai “kekuasaan simbolik”, yakni kekuasaan yang diperoleh melalui pengakuan sosial atas wacana. Seorang pemimpin dianggap berwibawa bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena otoritas bahasanya — cara ia berbicara yang diyakini, dihormati, dan ditaati.

Contoh sederhana adalah ketika pejabat tinggi negara menggunakan kata-kata seperti “demi kepentingan nasional” atau “atas nama rakyat”. Ungkapan ini memberi kesan bahwa tindakan mereka sah karena dihubungkan dengan nilai luhur dan kolektif.

c. Ilustrasi Legitimasi Bahasa

Contoh 1 – Wacana Pemerintah:
“Pembangunan Ibu Kota Negara baru adalah langkah strategis untuk pemerataan ekonomi nasional.”
→ Kalimat ini menggunakan istilah “strategis” dan “pemerataan” untuk membingkai kebijakan besar agar tampak visioner dan adil.

Contoh 2 – Wacana Kampanye:
“Kami hadir untuk memperjuangkan suara rakyat kecil.”
→ Kata “rakyat kecil” menciptakan empati dan menggambarkan kandidat sebagai pembela keadilan sosial.

Melalui bahasa seperti ini, kekuasaan tidak sekadar dijalankan — ia dinormalisasi dan dilegitimasi.

 

4. Slogan Politik: Bahasa sebagai Senjata Emosional

Slogan adalah bentuk paling ringkas dari bahasa politik. Ia bekerja melalui emosi, ritme, dan pengulangan. Dalam sejarah politik Indonesia, banyak slogan yang menjadi simbol perjuangan, perubahan, atau harapan.

a. Slogan sebagai Identitas Politik

Setiap partai atau calon pemimpin memiliki slogan yang mencerminkan nilai dan ideologinya. Beberapa contoh terkenal:

·         “Pilih yang bersih, berani, dan peduli” – menekankan integritas moral.

·         “Kerja nyata untuk rakyat” – menonjolkan komitmen pada aksi.

·         “Bersatu untuk Indonesia maju” – mengandung semangat kebersamaan nasional.

Slogan-slogan ini tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga membangun citra (branding) dan identitas politik yang mudah dikenali masyarakat.

b. Retorika Emosional dalam Slogan

Slogan politik sering dirancang menggunakan gaya bahasa tertentu:

·         Paralelisme: “Kerja, kerja, kerja” — menegaskan semangat produktivitas.

·         Rima dan ritme: “Ayo, maju bersama!” — mudah diingat dan dinyanyikan.

·         Metafora: “Gerakan perubahan” — menandakan arah ideologis yang dinamis.

Bahasa slogan memiliki kekuatan memobilisasi massa, karena ia bekerja di ranah afektif (emosi), bukan sekadar kognitif (logika) (Charteris-Black, 2011).

c. Ilustrasi Slogan Politik di Indonesia

Tahun

Slogan

Makna dan Strategi

1945

“Merdeka atau mati!”

Slogan perjuangan yang mencerminkan semangat heroik dan nasionalisme.

1960-an

“Jas merah”

Seruan Bung Karno agar rakyat tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa.

2014

“Kerja, kerja, kerja”

Menekankan etos kerja dan efektivitas pemerintahan Jokowi.

2019

“Indonesia maju”

Slogan pembangunan dan optimisme nasional.

2024

“Menuju Indonesia emas”

Visi jangka panjang menuju kesejahteraan dan kemajuan teknologi.

Slogan politik seperti di atas menunjukkan bagaimana bahasa menjadi alat pengikat antara kekuasaan, ideologi, dan rakyat.

 

5. Bahasa Politik di Era Media Sosial

Perkembangan media sosial telah mengubah wajah bahasa politik. Kini, wacana kekuasaan tidak hanya disampaikan lewat pidato atau baliho, tetapi juga melalui tweet, caption, dan tagar.

Tagar seperti #IndonesiaMaju, #GantiPresiden, atau #KerjaNyata menjadi simbol digital dari ideologi dan afiliasi politik. Dalam dunia digital, bahasa politik menjadi lebih cepat, emosional, dan viral.

Namun, fenomena ini juga membawa risiko: penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian yang memanfaatkan bahasa untuk membentuk polarisasi sosial (Siregar, 2021). Maka, literasi politik dan linguistik menjadi semakin penting agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam permainan retorika yang manipulatif.

Ilustrasi Bahasa Politik di Media Sosial:

Tweet 1: “Kita butuh pemimpin yang bekerja, bukan yang banyak bicara. #KerjaNyata”
→ Strategi positive-self, negative-other presentation (van Dijk, 2006).

Tweet 2: “Kami percaya Indonesia akan lebih baik tanpa korupsi! #BersihUntukNegeri”
→ Membangun citra moral melalui nilai antikorupsi.

 

6. Kesimpulan

Bahasa adalah jantung politik. Ia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat penguasaan, persuasi, dan legitimasi. Melalui bahasa, kekuasaan dibangun, dipertahankan, dan diperdebatkan.

Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan bahwa bahasa selalu menjadi arena perebutan makna — dari “Merdeka atau Mati” hingga “Indonesia Maju”. Slogan, pidato, dan narasi politik adalah bentuk konkret bagaimana kekuasaan beroperasi melalui kata-kata.

Oleh karena itu, memahami hubungan antara bahasa dan kekuasaan bukan sekadar urusan linguistik, tetapi juga kesadaran kritis sebagai warga negara. Sebab, siapa yang menguasai bahasa, dialah yang menguasai wacana — dan pada akhirnya, menguasai cara kita berpikir tentang dunia.

 

7. Daftar Pustaka

Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Harvard University Press.
Charteris-Black, J. (2011). Politicians and Rhetoric: The Persuasive Power of Metaphor (2nd ed.). Palgrave Macmillan.
Fairclough, N. (2001). Language and Power (2nd ed.). Pearson Education.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977. Pantheon Books.
Lakoff, G. (2004). Don't Think of an Elephant! Know Your Values and Frame the Debate. Chelsea Green Publishing.
Siregar, L. (2021). Bahasa Politik di Era Media Sosial: Studi Kritis Wacana Digital. Jurnal Linguistik Indonesia, 39(2), 145–160.
van Dijk, T. A. (2006). Discourse and Manipulation. Discourse & Society, 17(3), 359–383.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paradigma Linguistik Terapan

1. Perdebatan mengenai definisi linguistik terapan Bidang Linguistik Terapan (applied linguistics) telah lama mengalami perdebatan interna...