Oleh: Pusat Referensi Linguistik
1. Pendahuluan
Bahasa tidak pernah netral. Ia selalu memuat
makna, ideologi, dan kepentingan tertentu di balik setiap kata yang diucapkan.
Dalam konteks politik, bahasa adalah alat
kekuasaan — bukan hanya untuk menyampaikan pesan, tetapi juga untuk membentuk opini publik, mempengaruhi persepsi, dan
melegitimasi otoritas.
Menurut Fairclough (2001), bahasa merupakan
bagian dari praktik sosial yang dapat digunakan untuk mempertahankan atau
menantang struktur kekuasaan. Dengan kata lain, politik tidak hanya terjadi di
parlemen atau dalam kampanye, tetapi juga dalam wacana — cara berbicara, menulis, dan menyusun narasi.
Di Indonesia, bahasa telah memainkan peran
penting sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi digital. Slogan,
pidato, dan narasi politik menjadi alat strategis untuk membangun citra,
menciptakan legitimasi, dan menggerakkan massa.
| Sosiolinguistik oleh Aco Nasir - Buku Terbaru 2025 | CV. Cemerlang Publishing |
2. Bahasa dalam Wacana Politik
Wacana politik adalah penggunaan bahasa dalam
konteks kekuasaan — baik untuk memperoleh, mempertahankan, maupun menentang
otoritas (van Dijk, 2006). Bahasa politik biasanya penuh dengan metafora, eufemisme, dan simbol-simbol nasional
yang bertujuan memengaruhi emosi dan logika publik.
a. Bahasa sebagai Instrumen Pengaruh
Politisi menggunakan bahasa bukan sekadar
untuk berkomunikasi, tetapi untuk mempersuasi.
Kata-kata mereka disusun dengan cermat agar memunculkan kesan positif,
solidaritas, dan kepercayaan. Misalnya:
·
“Demi rakyat dan bersama
rakyat”
·
“Indonesia Maju”
·
“Kerja, kerja, kerja”
Ungkapan-ungkapan ini dirancang agar singkat, mudah diingat, dan emosional,
sehingga mampu menembus kesadaran publik. Dalam istilah sosiolinguistik, bahasa
seperti ini berfungsi sebagai alat
retorika dan simbol ideologis (Lakoff, 2004).
b. Manipulasi dan Ideologi dalam Bahasa
Bahasa politik juga bisa menjadi alat
manipulasi. Melalui pilihan kata tertentu, realitas bisa dibingkai (framed) agar terlihat lebih
positif atau negatif. Contohnya:
·
Istilah
“penyesuaian harga BBM” digunakan
pemerintah untuk menggantikan kata “kenaikan”,
karena terdengar lebih lunak.
·
Ungkapan
“pemberantasan korupsi” sering dipakai
untuk menunjukkan komitmen moral, meski praktiknya masih dipertanyakan.
Melalui strategi bahasa seperti ini, kekuasaan
dapat mengendalikan narasi publik
dan membentuk persepsi sosial terhadap kebijakan.
c. Ilustrasi Wacana Politik
Contoh
Pidato Politik:
“Kita tidak boleh mundur. Bersama kita bisa membawa
Indonesia menjadi bangsa yang disegani dunia. Mari rapatkan barisan!”
Dalam kalimat di atas, kata “kita” menciptakan
kesan kebersamaan (solidarity), sedangkan “disegani dunia” menumbuhkan rasa
nasionalisme dan kebanggaan. Ini menunjukkan bagaimana bahasa mampu membangun emosionalitas kolektif untuk memperkuat
legitimasi.
3. Bahasa sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan
Bahasa tidak hanya menjadi sarana komunikasi
politik, tetapi juga alat legitimasi
kekuasaan. Dengan kata lain, kekuasaan memperoleh dan mempertahankan
otoritasnya melalui penguasaan terhadap
wacana (Foucault, 1980).
a. Pidato Politik dan Pembingkaian Kekuasaan
Pidato politik sering digunakan untuk membangun citra pemimpin. Melalui
pilihan kata yang simbolik, pemimpin ingin menampilkan diri sebagai figur
karismatik, bijak, dan dekat dengan rakyat. Misalnya:
·
Presiden Soekarno
menggunakan gaya retoris dan revolusioner dengan ungkapan seperti “Jas merah: jangan
sekali-kali melupakan sejarah”.
·
Presiden Joko Widodo
memilih gaya tutur sederhana dan komunikatif, mencerminkan kedekatan dengan
masyarakat.
Kedua gaya ini sama-sama berfungsi untuk membangun legitimasi personal dan emosional,
meskipun dengan pendekatan yang berbeda.
b. Bahasa dan Kekuasaan Simbolik
Pierre Bourdieu (1991) menyebut fenomena ini
sebagai “kekuasaan simbolik”,
yakni kekuasaan yang diperoleh melalui pengakuan sosial atas wacana. Seorang
pemimpin dianggap berwibawa bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena otoritas bahasanya — cara ia berbicara
yang diyakini, dihormati, dan ditaati.
Contoh sederhana adalah ketika pejabat tinggi
negara menggunakan kata-kata seperti “demi kepentingan nasional” atau “atas
nama rakyat”. Ungkapan ini memberi kesan bahwa tindakan mereka sah karena
dihubungkan dengan nilai luhur dan kolektif.
c. Ilustrasi Legitimasi Bahasa
Contoh 1
– Wacana Pemerintah:
“Pembangunan Ibu Kota Negara baru adalah langkah
strategis untuk pemerataan ekonomi nasional.”
→ Kalimat ini menggunakan istilah “strategis” dan “pemerataan” untuk
membingkai kebijakan besar agar tampak visioner dan adil.
Contoh 2
– Wacana Kampanye:
“Kami hadir untuk memperjuangkan suara rakyat
kecil.”
→ Kata “rakyat kecil” menciptakan empati dan menggambarkan kandidat
sebagai pembela keadilan sosial.
Melalui bahasa seperti ini, kekuasaan tidak
sekadar dijalankan — ia dinormalisasi dan
dilegitimasi.
4. Slogan Politik: Bahasa sebagai Senjata
Emosional
Slogan adalah bentuk paling ringkas dari
bahasa politik. Ia bekerja melalui emosi,
ritme, dan pengulangan. Dalam sejarah politik Indonesia, banyak slogan
yang menjadi simbol perjuangan, perubahan, atau harapan.
a. Slogan sebagai Identitas Politik
Setiap partai atau calon pemimpin memiliki
slogan yang mencerminkan nilai dan ideologinya. Beberapa contoh terkenal:
·
“Pilih yang bersih, berani,
dan peduli” – menekankan integritas moral.
·
“Kerja nyata untuk rakyat”
– menonjolkan komitmen pada aksi.
·
“Bersatu untuk Indonesia
maju” – mengandung semangat kebersamaan nasional.
Slogan-slogan ini tidak hanya menyampaikan
pesan, tetapi juga membangun citra
(branding) dan identitas politik
yang mudah dikenali masyarakat.
b. Retorika Emosional dalam Slogan
Slogan politik sering dirancang menggunakan
gaya bahasa tertentu:
·
Paralelisme: “Kerja, kerja, kerja” — menegaskan semangat
produktivitas.
·
Rima dan ritme: “Ayo, maju bersama!” — mudah diingat dan
dinyanyikan.
·
Metafora: “Gerakan perubahan” — menandakan arah ideologis
yang dinamis.
Bahasa slogan memiliki kekuatan memobilisasi massa, karena ia
bekerja di ranah afektif (emosi), bukan sekadar kognitif (logika)
(Charteris-Black, 2011).
c. Ilustrasi Slogan Politik di Indonesia
|
Tahun |
Slogan |
Makna
dan Strategi |
|
1945 |
“Merdeka atau mati!” |
Slogan perjuangan yang mencerminkan semangat heroik dan
nasionalisme. |
|
1960-an |
“Jas merah” |
Seruan Bung Karno agar rakyat tidak melupakan sejarah
perjuangan bangsa. |
|
2014 |
“Kerja, kerja, kerja” |
Menekankan etos kerja dan efektivitas pemerintahan Jokowi. |
|
2019 |
“Indonesia maju” |
Slogan pembangunan dan optimisme nasional. |
|
2024 |
“Menuju Indonesia emas” |
Visi jangka panjang menuju kesejahteraan dan kemajuan
teknologi. |
Slogan politik seperti di atas menunjukkan
bagaimana bahasa menjadi alat pengikat
antara kekuasaan, ideologi, dan rakyat.
5. Bahasa Politik di Era Media Sosial
Perkembangan media sosial telah mengubah wajah
bahasa politik. Kini, wacana kekuasaan tidak hanya disampaikan lewat pidato
atau baliho, tetapi juga melalui tweet,
caption, dan tagar.
Tagar seperti #IndonesiaMaju, #GantiPresiden, atau #KerjaNyata menjadi simbol digital dari ideologi dan afiliasi politik. Dalam
dunia digital, bahasa politik menjadi lebih cepat, emosional, dan viral.
Namun, fenomena ini juga membawa risiko:
penyebaran disinformasi dan ujaran
kebencian yang memanfaatkan bahasa untuk membentuk polarisasi sosial
(Siregar, 2021). Maka, literasi politik dan linguistik menjadi semakin penting
agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam permainan retorika yang manipulatif.
Ilustrasi Bahasa Politik di Media Sosial:
Tweet 1:
“Kita butuh pemimpin yang bekerja, bukan yang banyak bicara. #KerjaNyata”
→ Strategi positive-self, negative-other
presentation (van Dijk, 2006).
Tweet 2:
“Kami percaya Indonesia akan lebih baik tanpa korupsi! #BersihUntukNegeri”
→ Membangun citra moral melalui nilai antikorupsi.
6. Kesimpulan
Bahasa adalah jantung politik. Ia bukan hanya
alat komunikasi, tetapi juga alat
penguasaan, persuasi, dan legitimasi. Melalui bahasa, kekuasaan
dibangun, dipertahankan, dan diperdebatkan.
Dalam konteks Indonesia, sejarah menunjukkan
bahwa bahasa selalu menjadi arena perebutan
makna — dari “Merdeka atau Mati” hingga “Indonesia Maju”. Slogan,
pidato, dan narasi politik adalah bentuk konkret bagaimana kekuasaan beroperasi
melalui kata-kata.
Oleh karena itu, memahami hubungan antara
bahasa dan kekuasaan bukan sekadar urusan linguistik, tetapi juga kesadaran kritis sebagai warga negara.
Sebab, siapa yang menguasai bahasa, dialah yang menguasai wacana — dan pada
akhirnya, menguasai cara kita berpikir
tentang dunia.
7. Daftar Pustaka
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power. Harvard University Press.
Charteris-Black, J. (2011). Politicians and
Rhetoric: The Persuasive Power of Metaphor (2nd ed.). Palgrave Macmillan.
Fairclough, N. (2001). Language and Power
(2nd ed.). Pearson Education.
Foucault, M. (1980). Power/Knowledge:
Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977. Pantheon Books.
Lakoff, G. (2004). Don't Think of an
Elephant! Know Your Values and Frame the Debate. Chelsea Green Publishing.
Siregar, L. (2021). Bahasa Politik di Era
Media Sosial: Studi Kritis Wacana Digital. Jurnal Linguistik Indonesia,
39(2), 145–160.
van Dijk, T. A. (2006). Discourse and
Manipulation. Discourse & Society,
17(3), 359–383.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar