Pendahuluan
Bahasa dan kebudayaan merupakan dua unsur yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya saling memengaruhi dan
membentuk satu sistem makna yang kompleks. Melalui bahasa, manusia tidak hanya
berkomunikasi, tetapi juga mengekspresikan nilai-nilai, pandangan dunia, serta
identitas sosial dan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Menurut Kramsch (1998), bahasa adalah “a system
of signs that expresses cultural reality” — sebuah sistem tanda yang
mengekspresikan realitas budaya. Artinya, setiap kata, ungkapan, dan struktur
dalam bahasa mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap dunia sekitarnya.
Oleh karena itu, mempelajari bahasa berarti juga memahami kebudayaan pemilik
bahasa tersebut.
Artikel ini membahas hubungan antara bahasa
dan kebudayaan, teori relativitas bahasa (Sapir-Whorf Hypothesis), serta contoh
konkret dari bahasa dan budaya lokal, khususnya budaya Mandar di Sulawesi Barat.
| Sosiolinguistik oleh Aco Nasir - Buku Terbaru 2025 | CV. Cemerlang Publishing |
1.
Hubungan Bahasa dan Kebudayaan
Bahasa merupakan bagian integral dari
kebudayaan. Ia menjadi sarana utama dalam pewarisan nilai-nilai budaya,
tradisi, serta norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Duranti (1997), bahasa adalah “a cultural resource and a cultural
practice” — yaitu sumber daya budaya sekaligus praktik budaya. Artinya, bahasa
tidak hanya menjadi alat, tetapi juga medium
di mana budaya itu hidup, berkembang, dan dipraktikkan.
Misalnya, dalam budaya Indonesia yang
menjunjung tinggi sopan santun, hal tersebut tercermin dalam penggunaan
berbagai bentuk sapaan seperti “Anda,” “Kamu,” “Saudara,” atau “Bapak/Ibu.”
Masing-masing bentuk sapaan ini menunjukkan hubungan sosial dan derajat kesopanan
tertentu. Di Jawa, seseorang akan memilih bentuk bahasa krama, madya, atau ngoko tergantung siapa lawan bicaranya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa
merupakan cermin struktur sosial dan nilai budaya suatu masyarakat.
2.
Relativitas Bahasa (Hipotesis Sapir-Whorf)
Teori relativitas bahasa, atau Sapir-Whorf Hypothesis, dikembangkan oleh
Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf pada awal abad ke-20. Teori ini berpendapat
bahwa struktur bahasa memengaruhi cara
berpikir dan memandang dunia dari para penuturnya.
Sapir (1929) menyatakan bahwa “manusia hidup
tidak hanya dalam dunia objektif, tetapi juga dalam dunia yang sebagian besar
dibentuk oleh bahasa masyarakatnya.” Dengan kata lain, bahasa menjadi “kacamata
budaya” yang membentuk realitas sosial penuturnya.
Contoh yang sering digunakan adalah perbedaan
kosakata untuk “salju” dalam bahasa Eskimo. Bahasa ini memiliki banyak kata
untuk menggambarkan berbagai jenis salju, seperti salju yang baru turun, salju
yang mencair, atau salju yang keras. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia,
semua itu hanya disebut “salju.”
Perbedaan tersebut menunjukkan bagaimana bahasa
memengaruhi persepsi terhadap lingkungan.
Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat
hal serupa pada kosakata yang berhubungan dengan “air.” Masyarakat pesisir
Mandar, misalnya, memiliki berbagai istilah yang menggambarkan kondisi laut: biseang (ombak besar), tedong (laut tenang), liwung
(arus deras), dan sebagainya. Setiap istilah ini mencerminkan pengalaman budaya yang khas dan relasi ekologis
masyarakat Mandar dengan laut — sesuatu yang tidak akan ditemukan
dalam bahasa masyarakat pegunungan.
3.
Bahasa sebagai Penanda Identitas Budaya
Bahasa juga berfungsi sebagai penanda identitas budaya dan etnis.
Setiap kelompok masyarakat memiliki ragam bahasa yang unik, baik dari segi
fonologi, leksikon, maupun struktur gramatikal.
Menurut Fishman (1972), penggunaan bahasa daerah atau dialek tertentu bukan
hanya persoalan komunikasi, tetapi juga cara masyarakat mempertahankan
identitas budaya mereka.
Dalam konteks masyarakat Mandar, bahasa Mandar
bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol kebanggaan etnis dan identitas lokal. Seorang
Mandar yang masih menggunakan bahasa ibunya dalam percakapan sehari-hari
dianggap sebagai penjaga warisan leluhur. Bahasa Mandar juga sering digunakan
dalam ritual adat, pernikahan, dan upacara tradisional seperti Sayyang Pattuddu’ (kuda menari).
Melalui praktik tersebut, bahasa Mandar berperan sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini,
serta memperkuat solidaritas sosial di tengah arus globalisasi.
4.
Integrasi Bahasa dan Unsur Budaya
Bahasa dan budaya tidak statis. Seiring dengan
modernisasi dan kontak antarbahasa, terjadi proses integrasi budaya melalui bahasa, terutama melalui
peminjaman kosakata (borrowing).
Misalnya, banyak istilah budaya populer yang diserap dari bahasa asing, seperti
“selfie,” “influencer,” atau “deadline.” Dalam konteks Mandar, peminjaman juga
terjadi — misalnya kata handphone yang
dilafalkan menjadi henpon, atau meeting menjadi miting.
Namun, yang menarik, meskipun unsur asing
masuk, bahasa lokal tetap memiliki kekuatan untuk menyesuaikan dengan norma
budaya sendiri. Hal ini menunjukkan dinamika
antara pelestarian dan inovasi budaya melalui bahasa.
5.
Studi Kasus: Istilah Budaya Lokal dalam Bahasa Mandar
Masyarakat Mandar memiliki banyak istilah
budaya yang tidak hanya unik secara linguistik, tetapi juga sarat makna
filosofis. Berikut beberapa contoh istilah yang mencerminkan hubungan antara
bahasa dan budaya:
|
Istilah |
Makna |
Nilai
Budaya yang Terkandung |
|
Sipamandar |
saling menguatkan |
Solidaritas sosial |
|
Mappatamma |
memberi makan bersama |
Gotong royong & kebersamaan |
|
Pattappa |
orang yang dituakan |
Penghormatan pada orang bijak |
|
Mallekke
di lao |
berlayar ke laut |
Semangat kerja keras & keberanian |
|
Siri’ |
harga diri |
Etika sosial & kehormatan |
Kata-kata tersebut tidak memiliki padanan
sempurna dalam bahasa Indonesia, karena mengandung konsep budaya yang hanya
bisa dipahami oleh penutur asli Mandar. Inilah yang disebut untranslatable cultural terms — istilah yang
merepresentasikan realitas sosial dan nilai moral masyarakat tertentu
(Wierzbicka, 1997).
6.
Ilustrasi Penggunaan dalam Kehidupan Sehari-hari
Untuk memperjelas keterkaitan bahasa dan
budaya, berikut beberapa ilustrasi:
Contoh 1
– Dalam konteks keluarga:
Ayah: “Nak, jangan
lupa salama’ sebelum makan.”
Anak: “Iye’, Pa.”
Kata salama’ dalam bahasa Mandar berarti
berdoa atau memberi ucapan syukur sebelum makan. Tradisi ini menunjukkan nilai
religius dan rasa hormat terhadap rezeki.
Contoh 2
– Dalam konteks sosial:
Teman 1: “Kita
bantu’ dia, kasian kerja sendiri.”
Teman 2: “Iye’, sipamandar to.”
Ungkapan sipamandar to berarti
“kita saling menguatkan,” menunjukkan semangat kolektivitas yang kuat dalam
budaya Mandar.
Contoh 3
– Dalam konteks ritual adat:
Pembawa acara: “Sekarang kita mulai mappatamma, sebagai simbol kebersamaan
warga.”
Kata mappatamma merefleksikan nilai
solidaritas dan saling berbagi — aspek penting dari identitas budaya Mandar.
7. Simpulan
Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan timbal
balik yang erat. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga penyimpan memori kolektif, penanda identitas, dan
cerminan nilai-nilai budaya masyarakat.
Teori relativitas bahasa dari Sapir dan Whorf menunjukkan bahwa cara kita
berpikir dan memahami dunia dipengaruhi oleh bahasa yang kita gunakan. Dalam
konteks lokal seperti masyarakat Mandar, bahasa menjadi medium untuk
melestarikan nilai-nilai tradisi, etika sosial, serta jati diri etnis.
Oleh karena itu, upaya pelestarian bahasa
daerah bukan hanya menjaga keberagaman linguistik, tetapi juga melestarikan
kebudayaan bangsa. Seperti yang dikatakan Kramsch (1998), “to preserve a
language is to preserve a world.”
Daftar
Pustaka
·
Duranti, A. (1997). Linguistic anthropology. Cambridge
University Press.
·
Fishman, J. A. (1972). The sociology of language: An interdisciplinary
social science approach to language in society. Newbury House.
·
Kramsch, C. (1998). Language and culture. Oxford University
Press.
·
Sapir, E. (1929). The status of linguistics as a science. Language, 5(4), 207–214.
·
Wierzbicka, A. (1997). Understanding cultures through their key words:
English, Russian, Polish, German, and Japanese. Oxford University Press.
·
Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings.
MIT Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar