Kamis, 13 November 2025

Bahasa dan Kebudayaan: Cerminan Pikiran, Nilai, dan Identitas Manusia (013)

Pendahuluan

Bahasa dan kebudayaan merupakan dua unsur yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Keduanya saling memengaruhi dan membentuk satu sistem makna yang kompleks. Melalui bahasa, manusia tidak hanya berkomunikasi, tetapi juga mengekspresikan nilai-nilai, pandangan dunia, serta identitas sosial dan budaya yang diwariskan turun-temurun.
Menurut Kramsch (1998), bahasa adalah “a system of signs that expresses cultural reality” — sebuah sistem tanda yang mengekspresikan realitas budaya. Artinya, setiap kata, ungkapan, dan struktur dalam bahasa mencerminkan cara pandang masyarakat terhadap dunia sekitarnya. Oleh karena itu, mempelajari bahasa berarti juga memahami kebudayaan pemilik bahasa tersebut.

Artikel ini membahas hubungan antara bahasa dan kebudayaan, teori relativitas bahasa (Sapir-Whorf Hypothesis), serta contoh konkret dari bahasa dan budaya lokal, khususnya budaya Mandar di Sulawesi Barat.

 

Sosiolinguistik oleh Aco Nasir - Buku Terbaru 2025 | CV. Cemerlang Publishing


1. Hubungan Bahasa dan Kebudayaan

Bahasa merupakan bagian integral dari kebudayaan. Ia menjadi sarana utama dalam pewarisan nilai-nilai budaya, tradisi, serta norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut Duranti (1997), bahasa adalah “a cultural resource and a cultural practice” — yaitu sumber daya budaya sekaligus praktik budaya. Artinya, bahasa tidak hanya menjadi alat, tetapi juga medium di mana budaya itu hidup, berkembang, dan dipraktikkan.

Misalnya, dalam budaya Indonesia yang menjunjung tinggi sopan santun, hal tersebut tercermin dalam penggunaan berbagai bentuk sapaan seperti “Anda,” “Kamu,” “Saudara,” atau “Bapak/Ibu.” Masing-masing bentuk sapaan ini menunjukkan hubungan sosial dan derajat kesopanan tertentu. Di Jawa, seseorang akan memilih bentuk bahasa krama, madya, atau ngoko tergantung siapa lawan bicaranya.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan cermin struktur sosial dan nilai budaya suatu masyarakat.

 

2. Relativitas Bahasa (Hipotesis Sapir-Whorf)

Teori relativitas bahasa, atau Sapir-Whorf Hypothesis, dikembangkan oleh Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf pada awal abad ke-20. Teori ini berpendapat bahwa struktur bahasa memengaruhi cara berpikir dan memandang dunia dari para penuturnya.

Sapir (1929) menyatakan bahwa “manusia hidup tidak hanya dalam dunia objektif, tetapi juga dalam dunia yang sebagian besar dibentuk oleh bahasa masyarakatnya.” Dengan kata lain, bahasa menjadi “kacamata budaya” yang membentuk realitas sosial penuturnya.

Contoh yang sering digunakan adalah perbedaan kosakata untuk “salju” dalam bahasa Eskimo. Bahasa ini memiliki banyak kata untuk menggambarkan berbagai jenis salju, seperti salju yang baru turun, salju yang mencair, atau salju yang keras. Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, semua itu hanya disebut “salju.”
Perbedaan tersebut menunjukkan bagaimana bahasa memengaruhi persepsi terhadap lingkungan.

Dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat hal serupa pada kosakata yang berhubungan dengan “air.” Masyarakat pesisir Mandar, misalnya, memiliki berbagai istilah yang menggambarkan kondisi laut: biseang (ombak besar), tedong (laut tenang), liwung (arus deras), dan sebagainya. Setiap istilah ini mencerminkan pengalaman budaya yang khas dan relasi ekologis masyarakat Mandar dengan laut — sesuatu yang tidak akan ditemukan dalam bahasa masyarakat pegunungan.

 

3. Bahasa sebagai Penanda Identitas Budaya

Bahasa juga berfungsi sebagai penanda identitas budaya dan etnis. Setiap kelompok masyarakat memiliki ragam bahasa yang unik, baik dari segi fonologi, leksikon, maupun struktur gramatikal.
Menurut Fishman (1972), penggunaan bahasa daerah atau dialek tertentu bukan hanya persoalan komunikasi, tetapi juga cara masyarakat mempertahankan identitas budaya mereka.

Dalam konteks masyarakat Mandar, bahasa Mandar bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol kebanggaan etnis dan identitas lokal. Seorang Mandar yang masih menggunakan bahasa ibunya dalam percakapan sehari-hari dianggap sebagai penjaga warisan leluhur. Bahasa Mandar juga sering digunakan dalam ritual adat, pernikahan, dan upacara tradisional seperti Sayyang Pattuddu’ (kuda menari).
Melalui praktik tersebut, bahasa Mandar berperan sebagai jembatan antara masa lalu dan masa kini, serta memperkuat solidaritas sosial di tengah arus globalisasi.

 

4. Integrasi Bahasa dan Unsur Budaya

Bahasa dan budaya tidak statis. Seiring dengan modernisasi dan kontak antarbahasa, terjadi proses integrasi budaya melalui bahasa, terutama melalui peminjaman kosakata (borrowing).
Misalnya, banyak istilah budaya populer yang diserap dari bahasa asing, seperti “selfie,” “influencer,” atau “deadline.” Dalam konteks Mandar, peminjaman juga terjadi — misalnya kata handphone yang dilafalkan menjadi henpon, atau meeting menjadi miting.

Namun, yang menarik, meskipun unsur asing masuk, bahasa lokal tetap memiliki kekuatan untuk menyesuaikan dengan norma budaya sendiri. Hal ini menunjukkan dinamika antara pelestarian dan inovasi budaya melalui bahasa.

 

5. Studi Kasus: Istilah Budaya Lokal dalam Bahasa Mandar

Masyarakat Mandar memiliki banyak istilah budaya yang tidak hanya unik secara linguistik, tetapi juga sarat makna filosofis. Berikut beberapa contoh istilah yang mencerminkan hubungan antara bahasa dan budaya:

Istilah

Makna

Nilai Budaya yang Terkandung

Sipamandar

saling menguatkan

Solidaritas sosial

Mappatamma

memberi makan bersama

Gotong royong & kebersamaan

Pattappa

orang yang dituakan

Penghormatan pada orang bijak

Mallekke di lao

berlayar ke laut

Semangat kerja keras & keberanian

Siri’

harga diri

Etika sosial & kehormatan

Kata-kata tersebut tidak memiliki padanan sempurna dalam bahasa Indonesia, karena mengandung konsep budaya yang hanya bisa dipahami oleh penutur asli Mandar. Inilah yang disebut untranslatable cultural terms — istilah yang merepresentasikan realitas sosial dan nilai moral masyarakat tertentu (Wierzbicka, 1997).

 

6. Ilustrasi Penggunaan dalam Kehidupan Sehari-hari

Untuk memperjelas keterkaitan bahasa dan budaya, berikut beberapa ilustrasi:

Contoh 1 – Dalam konteks keluarga:

Ayah: “Nak, jangan lupa salama’ sebelum makan.”
Anak: “Iye’, Pa.”

Kata salama’ dalam bahasa Mandar berarti berdoa atau memberi ucapan syukur sebelum makan. Tradisi ini menunjukkan nilai religius dan rasa hormat terhadap rezeki.

Contoh 2 – Dalam konteks sosial:

Teman 1: “Kita bantu’ dia, kasian kerja sendiri.”
Teman 2: “Iye’, sipamandar to.”
Ungkapan sipamandar to berarti “kita saling menguatkan,” menunjukkan semangat kolektivitas yang kuat dalam budaya Mandar.

Contoh 3 – Dalam konteks ritual adat:

Pembawa acara: “Sekarang kita mulai mappatamma, sebagai simbol kebersamaan warga.”
Kata mappatamma merefleksikan nilai solidaritas dan saling berbagi — aspek penting dari identitas budaya Mandar.

 

7. Simpulan

Bahasa dan kebudayaan memiliki hubungan timbal balik yang erat. Bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga penyimpan memori kolektif, penanda identitas, dan cerminan nilai-nilai budaya masyarakat.
Teori relativitas bahasa dari Sapir dan Whorf menunjukkan bahwa cara kita berpikir dan memahami dunia dipengaruhi oleh bahasa yang kita gunakan. Dalam konteks lokal seperti masyarakat Mandar, bahasa menjadi medium untuk melestarikan nilai-nilai tradisi, etika sosial, serta jati diri etnis.

Oleh karena itu, upaya pelestarian bahasa daerah bukan hanya menjaga keberagaman linguistik, tetapi juga melestarikan kebudayaan bangsa. Seperti yang dikatakan Kramsch (1998), “to preserve a language is to preserve a world.”

 

Daftar Pustaka

·         Duranti, A. (1997). Linguistic anthropology. Cambridge University Press.

·         Fishman, J. A. (1972). The sociology of language: An interdisciplinary social science approach to language in society. Newbury House.

·         Kramsch, C. (1998). Language and culture. Oxford University Press.

·         Sapir, E. (1929). The status of linguistics as a science. Language, 5(4), 207–214.

·         Wierzbicka, A. (1997). Understanding cultures through their key words: English, Russian, Polish, German, and Japanese. Oxford University Press.

·         Whorf, B. L. (1956). Language, thought, and reality: Selected writings. MIT Press.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paradigma Linguistik Terapan

1. Perdebatan mengenai definisi linguistik terapan Bidang Linguistik Terapan (applied linguistics) telah lama mengalami perdebatan interna...