Pendahuluan
Bahasa
merupakan sarana fundamental dalam proses pendidikan. Ia tidak hanya berfungsi
sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai medium berpikir, membentuk
identitas, dan mentransfer nilai budaya. Dalam konteks pendidikan formal,
bahasa berperan sebagai medium utama dalam penyampaian ilmu pengetahuan,
interaksi antara guru dan siswa, serta dalam proses penilaian akademik. Sebagai
negara dengan keragaman linguistik yang sangat tinggi, Indonesia menghadapi
tantangan tersendiri dalam menerapkan bahasa secara efektif di dunia
pendidikan. Fenomena multibahasa di sekolah sering kali menimbulkan
ketidakseimbangan antara bahasa pengantar pembelajaran (yakni Bahasa Indonesia)
dan bahasa ibu peserta didik. Oleh karena itu, pemahaman tentang fungsi bahasa
dalam pendidikan, peran bahasa sebagai media pembelajaran, serta implikasi
sosiolinguistiknya menjadi sangat penting bagi para pendidik dan perumus
kebijakan pendidikan nasional.
| Sosiolinguistik oleh Aco Nasir - Buku Terbaru 2025 | CV. Cemerlang Publishing |
1. Bahasa
dalam Pendidikan
Bahasa dalam
konteks pendidikan memiliki peran sentral dalam membentuk kemampuan berpikir,
menalar, dan berkomunikasi peserta didik. Vygotsky (1978) menekankan bahwa
bahasa adalah alat mediasi utama dalam perkembangan kognitif. Melalui bahasa,
individu membangun makna terhadap dunia sosial di sekitarnya. Dalam pendidikan,
guru menggunakan bahasa untuk menjelaskan konsep, memberikan instruksi, dan
menilai hasil belajar siswa. Sebaliknya, siswa menggunakan bahasa untuk
memahami pelajaran, mengajukan pertanyaan, serta mengekspresikan ide dan
gagasan.
Dalam sistem
pendidikan Indonesia, bahasa memiliki tiga fungsi utama: sebagai bahasa
pengantar pendidikan, objek pembelajaran, dan alat pengembangan
budaya bangsa (Moeliono, 2017). Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
sekaligus bahasa resmi negara berperan penting dalam mempersatukan peserta
didik dari latar belakang etnis dan linguistik yang beragam. Sebagai bahasa
pengantar pendidikan, Bahasa Indonesia digunakan di seluruh jenjang pendidikan
formal. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada kompetensi bahasa peserta
didik, terutama mereka yang berasal dari daerah dengan bahasa ibu berbeda.
Kridalaksana
(2011) menegaskan bahwa bahasa dalam pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai
sarana komunikasi, tetapi juga sebagai “alat konseptualisasi”, yaitu sarana
untuk membentuk dan mengembangkan konsep pengetahuan. Artinya, kemampuan
seseorang dalam memahami pelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan bahasanya.
Oleh karena itu, penguasaan bahasa pengantar menjadi faktor krusial dalam keberhasilan
belajar.
2. Bahasa
sebagai Media Pembelajaran
Bahasa
sebagai media pembelajaran berfungsi untuk menyampaikan pengetahuan dan
membangun interaksi edukatif antara guru dan siswa. Menurut Halliday (1993),
bahasa dalam pembelajaran berperan sebagai “semiotic system” yang memungkinkan
guru dan siswa untuk menciptakan makna bersama. Proses belajar bukan hanya
menerima informasi, melainkan juga membangun pemahaman melalui interaksi
linguistik.
Dalam
konteks pedagogis, bahasa sebagai media pembelajaran berfungsi dalam tiga
ranah: (1) kognitif, (2) afektif, dan (3) sosial (Gibbons,
2009).
- Dalam ranah kognitif, bahasa membantu siswa
memahami konsep ilmiah dan berpikir kritis.
- Dalam ranah afektif, bahasa berperan dalam
membangun motivasi, empati, dan hubungan emosional antara guru dan siswa.
- Dalam ranah sosial, bahasa berfungsi untuk
mengembangkan kemampuan kolaboratif dan interaksi sosial di kelas.
Bahasa
Indonesia, sebagai bahasa pengantar utama di sekolah, memegang peran strategis
dalam memperkuat kompetensi literasi dan numerasi siswa. Namun, di banyak
wilayah Indonesia yang multilingual, penggunaan Bahasa Indonesia sering kali
berbenturan dengan realitas linguistik di lapangan. Misalnya, siswa di Papua,
Nusa Tenggara Timur, atau Kalimantan masih lebih fasih menggunakan bahasa
daerah atau bahasa Melayu lokal dibandingkan Bahasa Indonesia standar (Lauder,
2008). Akibatnya, bahasa yang seharusnya menjadi jembatan pengetahuan justru
menjadi penghalang dalam memahami materi pembelajaran.
Fenomena
tersebut memperlihatkan bahwa penggunaan bahasa dalam pembelajaran harus
mempertimbangkan konteks linguistik peserta didik. Pendekatan multilingual
education (pendidikan berbasis multibahasa) yang mengakomodasi bahasa ibu
di tahap awal pendidikan dapat meningkatkan pemahaman konseptual dan kesiapan
siswa untuk beralih ke bahasa nasional pada tahap berikutnya (UNESCO, 2016).
3. Kendala
Multibahasa di Sekolah
Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara paling multibahasa di dunia, dengan lebih
dari 700 bahasa daerah yang aktif digunakan (Eberhard, Simons, & Fennig,
2022). Kondisi ini menciptakan dinamika kompleks dalam dunia pendidikan. Di
satu sisi, keragaman bahasa mencerminkan kekayaan budaya; di sisi lain, ia
menjadi tantangan besar dalam penyelenggaraan pendidikan nasional yang
berorientasi pada satu bahasa pengantar, yaitu Bahasa Indonesia.
Kendala
utama yang muncul dari situasi multibahasa di sekolah antara lain:
- Kesulitan Akses terhadap Bahasa Pengantar.
Siswa yang menggunakan bahasa ibu berbeda dengan Bahasa Indonesia mengalami kesulitan memahami instruksi dan materi pelajaran. Hal ini terutama terjadi di wilayah pedesaan atau daerah terpencil (Nababan, 2012). - Ketimpangan Kompetensi Bahasa antara Guru dan
Siswa.
Banyak guru yang tidak menguasai bahasa daerah siswa, sementara siswa belum sepenuhnya menguasai Bahasa Indonesia. Ketimpangan ini menghambat proses komunikasi dua arah di kelas (Setiawan, 2019). - Kehilangan Bahasa Ibu.
Kebijakan monolingual di sekolah sering kali membuat siswa meninggalkan bahasa ibu mereka. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengikis identitas budaya lokal (Musgrave, 2014). - Kurangnya Materi Ajar Multibahasa.
Buku teks dan kurikulum nasional sebagian besar disusun dalam Bahasa Indonesia standar tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan linguistik siswa. Akibatnya, siswa kesulitan menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman sehari-hari mereka (Mahsun, 2015).
Untuk
mengatasi kendala tersebut, para ahli bahasa pendidikan mendorong penerapan pendidikan
dwibahasa (bilingual education) atau multilingual education. Dalam
model ini, bahasa ibu digunakan sebagai bahasa pengantar pada tahap awal,
sementara Bahasa Indonesia diperkenalkan secara bertahap sebagai bahasa
akademik. Pendekatan ini terbukti efektif di berbagai negara multilingual
seperti Filipina dan India (Benson, 2005).
4. Implikasi
Sosiolinguistik dalam Pengajaran Bahasa Indonesia
Sosiolinguistik,
sebagai kajian tentang hubungan antara bahasa dan masyarakat, memberikan
wawasan penting dalam merancang pengajaran bahasa Indonesia yang inklusif dan
kontekstual. Pengajaran bahasa tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial seperti
identitas, kelas sosial, etnisitas, dan kebiasaan linguistik masyarakat
(Wardhaugh & Fuller, 2021). Dalam konteks Indonesia, perbedaan dialek dan
latar belakang bahasa ibu siswa sangat memengaruhi cara mereka memahami dan
menggunakan Bahasa Indonesia.
Implikasi sosiolinguistik
dalam pengajaran bahasa Indonesia mencakup beberapa aspek utama:
- Variasi Bahasa dan Sikap Bahasa.
Guru perlu memahami adanya ragam bahasa Indonesia — baik formal maupun nonformal — serta sikap bahasa siswa terhadapnya. Banyak siswa merasa lebih nyaman menggunakan bahasa daerah atau bahasa campuran (code-switching) di kelas. Menurut Suwito (1985), pergeseran kode ini merupakan strategi komunikatif alami dalam situasi bilingual. Guru hendaknya tidak memandangnya sebagai kesalahan, tetapi sebagai jembatan menuju penguasaan bahasa baku. - Kesadaran Multikultural dalam Pembelajaran
Bahasa.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional membawa identitas kolektif bangsa, namun tidak boleh meniadakan identitas linguistik lokal. Pengajaran bahasa Indonesia perlu mengintegrasikan unsur budaya daerah agar siswa merasa bahwa bahasa nasional juga mencerminkan jati diri mereka (Sneddon, 2003). - Pendekatan Kontekstual dan Komunikatif.
Pembelajaran bahasa Indonesia tidak cukup hanya menekankan tata bahasa (grammar-oriented), tetapi harus berorientasi pada konteks sosial penggunaan bahasa. Model pembelajaran berbasis konteks sosial (communicative language teaching) menekankan kemampuan berkomunikasi sesuai situasi (Littlewood, 2014). - Kesetaraan Linguistik dalam Kelas.
Guru perlu menghindari diskriminasi linguistik, yakni sikap yang menganggap bahasa daerah lebih rendah dari Bahasa Indonesia. Prinsip “kesetaraan linguistik” menempatkan semua bahasa sebagai bentuk ekspresi budaya yang bernilai (Fishman, 1991).
Dengan
memperhatikan implikasi-implikasi ini, pengajaran Bahasa Indonesia dapat
menjadi sarana pemberdayaan sosial sekaligus alat integrasi nasional. Bahasa
Indonesia bukan hanya alat komunikasi formal, tetapi juga simbol kesatuan dalam
keberagaman.
Kesimpulan
Bahasa
memainkan peran vital dalam pendidikan, baik sebagai sarana komunikasi, alat
berpikir, maupun media pembentukan karakter dan identitas bangsa. Dalam konteks
pendidikan Indonesia yang multibahasa, tantangan utama terletak pada
kesenjangan antara bahasa pengantar pendidikan dan bahasa ibu siswa. Untuk
mengatasi kendala ini, diperlukan kebijakan pendidikan yang adaptif terhadap
realitas linguistik di lapangan. Pendekatan multibahasa berbasis
sosiolinguistik dapat menjadi solusi strategis agar pendidikan benar-benar
inklusif dan efektif.
Bahasa
Indonesia, sebagai bahasa nasional, tetap menjadi perekat identitas kebangsaan,
namun pengajaran dan penggunaannya harus peka terhadap keragaman linguistik
lokal. Dengan mengintegrasikan teori sosiolinguistik dalam praktik pengajaran
bahasa, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang menghargai pluralitas,
memperkuat kompetensi komunikasi siswa, dan menjaga keseimbangan antara bahasa
nasional dan bahasa daerah.
Akhirnya,
pendidikan bahasa yang sensitif secara sosial dan linguistik bukan hanya
mengajarkan tata bahasa, tetapi juga membentuk manusia Indonesia yang berpikir
kritis, berbudaya, dan beridentitas ganda — lokal dan nasional sekaligus.
Daftar
Pustaka
Benson, C.
(2005). The importance of mother tongue-based schooling for educational
quality. UNESCO.
Eberhard, D.
M., Simons, G. F., & Fennig, C. D. (2022). Ethnologue: Languages of the
world (25th ed.). SIL International.
Fishman, J.
A. (1991). Reversing language shift: Theoretical and empirical foundations
of assistance to threatened languages. Multilingual Matters.
Gibbons, P.
(2009). English learners, academic literacy, and thinking: Learning in the
challenge zone. Heinemann.
Halliday, M.
A. K. (1993). Towards a language-based theory of learning. Linguistics and
Education, 5(2), 93–116.
Kridalaksana,
H. (2011). Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia. Gramedia Pustaka
Utama.
Lauder, A.
(2008). The status and function of English in Indonesia: A review of key
factors. Makara, Social Humaniora, 12(1), 9–20.
Littlewood,
W. (2014). Communicative language teaching: An introduction. Cambridge
University Press.
Mahsun.
(2015). Pembelajaran bahasa Indonesia berbasis teks dan konteks budaya lokal.
Rajawali Pers.
Moeliono, A.
M. (2017). Bahasa dan politik bahasa: Kumpulan karangan. PT Dunia
Pustaka Jaya.
Musgrave, S.
(2014). Language shift and language maintenance in Indonesia. Asian Journal
of Social Science, 42(2), 1–23.
Nababan, P.
W. J. (2012). Language policy and language education in Indonesia. Asian EFL
Journal, 14(1), 141–160.
Setiawan, T.
(2019). Tantangan multibahasa dalam pendidikan dasar di Indonesia. Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, 4(3), 245–256.
Sneddon, J.
N. (2003). The Indonesian language: Its history and role in modern society.
UNSW Press.
Suwito.
(1985). Sosiolinguistik: Teori dan masalah. Penerbit Henary Offset.
UNESCO.
(2016). If you don’t understand, how can you learn? Global education
monitoring report. Paris: UNESCO.
Vygotsky, L.
S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological
processes. Harvard University Press.
Wardhaugh,
R., & Fuller, J. M. (2021). An introduction to sociolinguistics (8th
ed.). Wiley Blackwell.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar