Jumat, 14 November 2025

TRAGEDI PEMBACOKAN DI JALAN KAPTEN JUMHANA WONOMULYO: SEBUAH POTRET KONFLIK SOSIAL YANG BERUJUNG MAUT (014)


Tinjauan Sosiolinguistik terhadap Kasus Pembacokan di Wonomulyo

Sumber utama berita: Postingan Facebook – Anto Halilintar (14 November 2025).

 

Pendahuluan

Kasus pembacokan yang terjadi pada Jumat sore, 14 November 2025, di Jalan Kapten Jumhana, Kelurahan Ujung Baru, Kecamatan Wonomulyo, Kabupaten Polewali Mandar, menjadi sorotan masyarakat karena memakan korban jiwa dan dilakukan oleh pelaku yang merupakan tetangga sekaligus masih memiliki hubungan kekerabatan dengan korban. Peristiwa ini tidak hanya menjadi tragedi kriminal, tetapi juga menjadi gambaran tentang bagaimana konflik kecil yang tidak dikelola dengan baik dapat berkembang menjadi insiden fatal.

Artikel ini membahas secara detail kronologi kejadian, latar belakang konflik, respons aparat kepolisian, serta analisis sosial yang melingkupi kasus ini. Tragedi ini sekaligus mengingatkan masyarakat akan pentingnya komunikasi, pengendalian emosi, dan penyelesaian masalah secara damai dalam kehidupan sosial sehari-hari.




Kronologi Kejadian

Berdasarkan laporan dalam postingan Facebook Anto Halilintar, peristiwa pembacokan terjadi pada Jumat sore sekitar tanggal 14 November 2025. Korban yang diketahui bernama Septian Sani Dwi Putra Husain, seorang notaris muda, ditemukan tergeletak bersimbah darah di samping rumahnya setelah dibacok oleh tetangganya sendiri.

Cuplikan rekaman video amatir yang beredar menunjukkan korban terbaring dalam kondisi kritis, sebelum kemudian dievakuasi warga ke Rumah Sakit Pratama Wonomulyo. Meskipun telah dilarikan secepat mungkin, nyawa korban tidak dapat diselamatkan. Korban dinyatakan meninggal sebelum tiba di rumah sakit.

Peristiwa ini seketika menghebohkan warga setempat, mengingat hubungan antara pelaku dan korban diketahui cukup dekat karena masih memiliki keterikatan keluarga dan bertempat tinggal bersebelahan.

 

Pemeriksaan Kepolisian dan Barang Bukti

Polisi dari Polsek Wonomulyo bergerak cepat dengan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) serta memintai keterangan dari sejumlah saksi mata. Dalam proses penyelidikan awal, pihak kepolisian menemukan bahwa pelaku telah menyiapkan dua jenis senjata tajam, yaitu parang dan celurit, yang kemudian disita sebagai barang bukti.

Pelaku berinisial A berhasil diamankan tidak lama setelah insiden, kemudian dijemput oleh tim Reskrim dan dibawa ke Mapolres Polewali Mandar untuk pemeriksaan lebih lanjut. Penangkapan ini dilakukan untuk mencegah pelaku melarikan diri serta agar proses hukum berjalan sesuai prosedur.

Kapolsek Wonomulyo, AKP Sandy Indrajatiwiguna, memberikan keterangan bahwa pemicu utama pertikaian yang berujung maut tersebut diduga berasal dari dendam lama yang belum selesai. Menurutnya, korban dan pelaku pernah terlibat adu mulut sekitar satu bulan sebelumnya, yang dipicu oleh permasalahan pembakaran sampah.

 

Latar Belakang Konflik: Persoalan Sepele yang Menjadi Tragis

Permasalahan awal antara korban dan pelaku terjadi sekitar satu bulan sebelum insiden, ketika keduanya terlibat cekcok terkait pembakaran sampah. Dalam kehidupan bertetangga, pembakaran sampah sering kali menjadi isu sensitif, terutama jika asapnya masuk ke rumah warga lain atau menimbulkan gangguan lingkungan.

Adu mulut tersebut rupanya tidak selesai dengan baik. Seiring berjalannya waktu, perasaan kesal dan tersinggung berkembang menjadi dendam yang kemudian memicu tindakan brutal pada hari kejadian.

Menurut keterangan Kapolsek, korban pada hari kejadian mendatangi rumah pelaku dengan tujuan tidak diketahui secara pasti. Setibanya di lokasi, terjadi adu argumen yang meningkat menjadi perkelahian fisik. Dalam kondisi emosi yang memuncak, pelaku mengambil senjata tajam dan menyerang korban hingga mengalami luka fatal.

Kejadian ini memperlihatkan bagaimana masalah kecil dalam kehidupan sosial dapat berubah menjadi tragedi besar ketika dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian.

 

Respon Masyarakat dan Trauma Sosial

Tragedi pembacokan ini meninggalkan trauma bagi masyarakat Wonomulyo. Banyak warga tidak menyangka bahwa peristiwa sekejam itu dapat terjadi di lingkungan yang sebelumnya dianggap aman dan harmonis. Hubungan kekerabatan antara pelaku dan korban semakin menambah kedukaan serta mengguncang solidaritas sosial.

Bagi keluarga korban, kejadian ini merupakan kehilangan yang sangat besar. Korban diketahui sebagai seorang notaris muda yang sedang meniti karier. Jenazah korban setelah melewati proses visum di Rumah Sakit Pratama Wonomulyo kemudian dibawa ke rumah duka untuk disemayamkan.

Di sisi lain, keluarga pelaku pun turut mengalami tekanan sosial karena tindakan yang dilakukan oleh anggota keluarga mereka. Stigma sosial dapat mempengaruhi kondisi psikologis keluarga pelaku, terutama dalam masyarakat yang ikatan kekerabatannya kuat.

 

Analisis Sosial: Konflik, Emosi, dan Kegagalan Komunikasi

Kasus ini bukan sekadar tindak kriminal, tetapi juga fenomena sosial. Setidaknya ada tiga aspek penting yang dapat dijadikan pembelajaran:

1. Kegagalan Komunikasi

Konflik bermula dari adu mulut yang tidak diselesaikan secara tuntas. Dalam hubungan bertetangga, komunikasi yang buruk dapat menimbulkan salah paham yang berlarut-larut.

Perbedaan gaya bicara, nada suara, dan cara menyampaikan keluhan kerap kali memicu konflik terselubung. Ketika salah satu pihak merasa tersinggung, bibit permusuhan dapat tumbuh.

2. Pengelolaan Emosi

Pelaku diduga menyimpan dendam setelah kejadian satu bulan sebelumnya. Ketidakmampuan mengelola emosi membuat masalah kecil membesar menjadi tindakan kekerasan berbahaya.

Di banyak kasus kriminal, pemicu tindakan brutal sering kali bersumber dari ledakan emosi sesaat yang tidak terkendali.

3. Lingkungan Sosial yang Kurang Mendukung Penyelesaian Konflik

Dalam masyarakat, seringkali pertikaian kecil dianggap tidak perlu campur tangan pihak lain. Padahal, mediasi sosial oleh tokoh masyarakat atau keluarga dapat mencegah konflik meningkat.

Ketiadaan mediator, atau kegagalan sosial dalam mengarahkan penyelesaian perselisihan, membuat konflik dibiarkan berkembang dalam diam.

 

Pentingnya Penyelesaian Konflik dalam Kehidupan Sosial

Kasus ini menjadi pelajaran penting tentang perlunya mekanisme penyelesaian konflik dalam masyarakat. Konflik merupakan bagian alami dari kehidupan sosial, namun cara menanganinya menentukan apakah konflik berakhir dengan damai atau berujung pada kekerasan.

Beberapa bentuk penyelesaian konflik yang sering diabaikan tetapi sangat penting antara lain:

·         Mediasi antar-keluarga

·         Nasihat dari tokoh masyarakat

·         Peran aktif pemerintah desa atau kelurahan

·         Ruang komunikasi yang terbuka antar-tetangga

·         Edukasi tentang bahaya menyimpan dendam

Masyarakat perlu membangun budaya dialog dan saling menghormati, terutama dalam lingkungan yang ikatan sosialnya kuat seperti daerah pedesaan atau perkampungan.

 

Penutup

Tragedi pembacokan di Jalan Kapten Jumhana Wonomulyo menjadi pengingat bahwa persoalan kecil dapat berubah menjadi bencana besar ketika komunikasi gagal dilakukan dan emosi tidak dikendalikan. Pelajaran moral dari kasus ini adalah pentingnya menjaga hubungan sosial, mengelola konflik dengan bijaksana, serta membangun budaya penyelesaian masalah secara damai.

Kejadian ini bukan hanya mencerminkan tindakan kriminal yang perlu diproses melalui jalur hukum, tetapi juga sebuah fenomena sosial yang harus dievaluasi bersama oleh masyarakat, pemerintah, dan tokoh-tokoh lokal.

Semoga tragedi ini menjadi yang terakhir, dan menjadi momentum bagi masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman, harmonis, dan penuh empati.

 

Sumber utama:
Postingan Facebook Anto Halilintar, 14 November 2025 (berdasarkan gambar yang diberikan oleh pengguna).


Tinjauan Sosiolinguistik terhadap Kasus Pembacokan di Wonomulyo

Dalam sosiolinguistik, bahasa tidak hanya dipandang sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai praktik sosial yang merefleksikan relasi kekuasaan, identitas sosial, emosi, serta dinamika budaya dalam masyarakat. Kasus pembunuhan seorang notaris oleh tetangganya sendiri ini menunjukkan bagaimana komunikasi—atau kegagalan komunikasi—dapat berperan dalam eskalasi konflik sosial.

Berikut beberapa poin analisis sosiolinguistik:

 

1. Konflik Berawal dari Interaksi Verbal (Adu Mulut)

Sosiolinguistik melihat bahwa sengketa antarindividu sering bermula dari pilihan bahasa, gaya bicara, nada suara, dan cara menyampaikan pesan.

Dalam kasus ini:

  • Pernah terjadi adu mulut sebulan sebelumnya.
  • “Adu mulut” menunjukkan adanya ketidakseimbangan pragmatik: pesan yang disampaikan tidak diterima dengan cara yang sama oleh kedua belah pihak.
  • Interpretasi yang berbeda terhadap ujaran (misalnya dianggap meremehkan, memprovokasi, atau mengancam) dapat memicu ketegangan interpersonal.

Sosiolinguistik menyebut ini sebagai miscommunication atau pragmatic failure.

 

2. Faktor Kekerabatan dan kedekatan sosial justru memperkeruh situasi

Pelaku dan korban:

  • Bertetangga
  • Masih memiliki hubungan kekerabatan

Dalam teori sosiolinguistik, semakin dekat hubungan sosial seseorang, semakin tinggi ekspektasi kesantunan. Jika ekspektasi itu dilanggar, konflik bisa menjadi lebih emosional.

Pelanggaran kesantunan (Brown & Levinson) dapat berupa:

  • Nada tinggi
  • Tuduhan
  • Sindiran
  • Tuturan bernada ancaman

Ketika tuturan-tuturan tersebut terjadi antar-kerabat atau tetangga, dampaknya bisa lebih tajam karena menyentuh face (harga diri) kedua belah pihak.

 

3. Norma-norma budaya lokal dan bahasa emosi

Budaya di masyarakat tertentu memiliki cara khas dalam:

  • Menyampaikan ketidaksetujuan
  • Menegur tetangga
  • Menyampaikan keluhan

Jika salah satu pihak menggunakan gaya bahasa yang dianggap menyerang atau tidak sesuai norma lokal, konflik dapat meningkat.

Komentar atau teguran soal pembakaran sampah mungkin dianggap:

  • Merendahkan
  • Memalukan
  • Menantang otoritas atau harga diri

Dalam kerangka sosiolinguistik, ini masuk kategori “bahasa emosi”—situasi ketika tuturan mengekspresikan kemarahan, frustrasi, dan ketegangan sosial.

 

4. Konflik Verbal yang Tidak Ditangani Menjadi Kekerasan Fisik

Dalam sosiolinguistik interaksional, komunikasi yang gagal dikelola akan mengalami eskalasi, dari:

  1. perbedaan persepsi
  2. pertengkaran verbal
  3. agresi verbal
  4. agresi fisik

Kasus ini menunjukkan bahwa bahasa memiliki kekuatan sosial. Ketika kontrol bahasa hilang, kekerasan fisik menjadi jalan yang tragis.

 

5. Peran Bahasa dalam Proses Penegakan Hukum

Sosiolinguistik juga mengamati bagaimana:

  • Kesaksian saksi
  • Pernyataan polisi
  • Rekonstruksi kejadian
  • Media yang melaporkan

Semua ini menggunakan bahasa yang membentuk persepsi publik.

Pilihan kata seperti “dendam,” “cekcok,” “membacok,” menempatkan pelaku pada posisi agresor dan korban sebagai pihak pasif. Ini menunjukkan bagaimana media membangun narasi sosial melalui bahasa.

 

Kesimpulan 

Dari ujung sosiolinguistik, kasus pembacokan di Wonomulyo tidak hanya merupakan tindakan kriminal, tetapi juga kegagalan komunikasi antarindividu dalam konteks sosial-budaya tertentu. Pertikaian verbal, pelanggaran norma kesantunan, ekspresi emosi melalui bahasa, dan perbedaan persepsi terhadap tuturan menjadi faktor penting yang mempercepat konflik hingga berakhir fatal.

Sosiolinguistik mengingatkan bahwa:

bahasa bukan sekadar kata, tetapi tindakan sosial yang mampu menyatukan atau menghancurkan hubungan antar manusia.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Paradigma Linguistik Terapan

1. Perdebatan mengenai definisi linguistik terapan Bidang Linguistik Terapan (applied linguistics) telah lama mengalami perdebatan interna...